Cerita kami tentang Baby K’

author

Sedikit berkisah tentang pengalaman PPTCT poppy Adit dan mommy Ranny untuk baby Keandra. Kehamilan ini pada awalnya tidak direncanakan, karenanya, kami tidak mendapatkan sedikitpun program family planning PPTCT. Maka, pada saat mommy Ranny sudah hamil, dia belum melakukan tes CD4 apalagi Viral Load (VL), ditambah lagi tes IMS dan tokso yang kami lewatkan juga.

Tes CD4 dan VL baru dijalankan pada saat usia kandungan kurang lebih 2 bulan, itupun kami harus pergi ke Jakarta untuk mendapatkan akses tes VL yang murah (pada saat itu sedang ada program subsidi). Akhirnya, mommy Rany mulai terapi ARV pada waktu yang dianjurkan (minggu ke 14) untuk program pencegahan HIV dari orangtua ke anak (PPTCT) oleh dokter spesialis kandungan yang juga dokter kandungan rujukan klinik Teratai RS Hasan Sadikin.

Awalnya kami sangat khawatir akan efek samping dari terapi Duviral dan Neviral, namun ternyata mommy Ranny kuat, walaupun pada awalnya ada beberapa kejadian terasa pusing seperti kurang darah. Namun dengan dibantu Sangobion dan vitamin, semuanya tetap lancar. Informasi ini sama sekali tidak diberi tahu oleh petugas medis, ini semua murni dari logika kami sendiri.

Oh ya, waktu mulai minum Anti retroviral (ARV), seharusnya kan mommy Rany dapat konseling adherence, namun petugas klinik Teratai dan dokter pengawasnya seakan-akan menganggap mommy Ranny tidak memerlukan konseling, berhubung kami berdua adalah salah satu pasien lama di klinik tersebut. Memang enak sih jadi ga ribet, cuma kan ada beberapa informasi yang kami tahu yang mungkin sudah out of date.

Selama proses kehamilan, tidak ada kejadian-kejadian major yang perlu tindakan khusus, kami pun hanya mengunjungi dokter spesialis kandungan sekali dalam satu bulan. Namun, pada saat masa kehamilan 6 bulan (kalau tidak salah), kami memutuskan untuk mendatangi dokter yang berbeda (untuk satu kali kunjungan saja), karena kami ingin melihat janin di mesin USG yang jauh lebih canggih. Mesin di klinik spesialis RS Hasan Sadikin (RSHS) udah kadaluarsa banget soalnya – Cuma gimana lagi, toh sepertinya itu satu-satunya pilihan kami agar mendapatkan layanan PPTCT – karena dokter yang bersangkutan hanya praktek di satu RS lain yang jaraknya jauh banget dari rumah kami.

Nah, hingga waktu kelahiran sudah semakin dekat, kami pun segera melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengakses layanan JAMPERSAL. Karena layanan ini baru, kami cukup kebingungan, sampai-sampai saya harus banyak browsing dan tanya-tanya teman-teman odha lainnya yang sudah pernah mengakses.

Jadi layanan JAMPERSAL itu memang tidak dikhususkan untuk odha, namun layanan ini ditujukan untuk semua ibu yang memiliki resiko tinggi jika melahirkan normal, salah satunya adalah resiko infeksi dan penularan penyakit.

Syaratnya mudah, hanya perlu surat rujukan dari dokter spesialis yang nantinya harus dibawa ke puskesmas setempat (sesuai ktp). PKM setempat akan mengeluarkan surat rujukan untuk operasi caesarian dan Jaminan persalinan (JAMPERSAL). Selebihnya, siapkan Kartu Keluarga (terpisah dari orang tua) dan KTP (alamat harus sama). Siapkan beberapa lembar foto kopi, dan beres. Totally NOL Rupiah. (walaupun proses pengajuan saat di RS sangat ribet dan dijamin kaki pegel-pegel).

Nah, berhubung baby Keandra dilahirkan sehari lebih awal dari tanggal yang direncanakan, jadi kami harus masuk ruang emergency dulu, dan menunggu cukup lama hingga akhirnya dokter memaksa untuk dilakukan operasi pada hari itu (jadwal kami hari esoknya, dan pada saat itu, di ruang operasi ada satu pasien yang sudah siap dengan jubah operasi yang harus menunggu karena mommy Ranny sudah sangat emergency).

Kesiapan dokter-dokter di ruang emergency sih ok, tidak ada ketakutan untuk melayani odha, dan bahkan, karena waktu itu kondisi mommy Ranny sudah hamper melahirkan, mereka pun siap kalau-kalau waktu itu harus lahir normal (dokter-dokter di klinik Teratai malah menganjurkan lahir normal, karena mereka yakin VL mommy Ranny undetected). Oh ya, kami juga tidak tes VL sebelum mommy Ranny melahirkan.

Nah, pasca melahirkan dan pada saat mommy Ranny dan baby Keandra masih di RS, saya sama sekali tidak diperlihatkan cara untuk memberikan ARV kepada baby K. Bahkan, kasarnya, saya tidak tahu apakah ARV dosis tunggal itu diberikan atau tidak. Pada saat pulang, suster di klinik anak pun tidak memberi tahu caranya, malahan dia bilang, kasih aja pakai sendok….

Selain itu, kami pun tidak mendapatkan banyak layanan informasi lainnya, baik itu tentang PPTCT atau tentang ibu dan anak secara umum. Susahnya lagi, banyak yang menganggap karena kami pasangan odha lama (poppy Adit sejak 2004, mommy Ranny sejak 2003), kami tidak membutuhkan banyak layanan informasi – ini kan tidak benar. Memang kami banyak tahu tentang informasi, namun melahirkan anak adalah pengalaman pertama kami.

Ternyata, memberikan ARV ke baby K adalah pengalaman yang tidak mengenakan. Baby K menunjukan bahwa obat itu pahit dan tidak enak, berkali-kali ia muntahkan lagi. Sampai akhirnya kami sempat menyerah dan tidak memberikan ARV itu selama beberapa hari. Namun banyak teman-teman mommy Ranny yang tahu baby K stop profilaksis, lalu mereka segera membantu mommy Ranny agar tahu cara yang tepat untuk memberikan ARV. Ternyata ada triknya, pakai pipet plastik, masukan sampai ke ujung gigi graham baru dikasihkan. Kalaupun di muntahkan, tidak akan sebanyak kalau dikasihkan di atas lidah.

Pada awalnya, ARV diberikan per 6 jam, jadi kebayang kan sehari 4x melihat baby K menderita. Lalu dokter spesialis anak kami, yang juga salah satu dokter spesialis anak senior rujukan klinik Teratai, memberikan ARV dosis 2x sehari agar lebih mudah.

Oh ya, berhubung baby K ada penyakit lain, diapun harus minum obat bubuk yang serupa seperti ARV (setiap hari tapi hanya satu kali). Nah obat ini agak lain, karena memang dosisnya sangat kecil (10 mikrogram), jadi peracikannya harus dicampur glukosa. Ini membuat rasa si obatnya jadi manis, dan baby K hampir tidak pernah memuntahkan obat ini. <<<< Mungkin ide ini bisa digunakan untuk pemberian ARV kepada anak?

Setelah terapi ARV selesai (6 minggu), kami pun diberikan cotrimoxazole sirup. Nah, yang ini kami merasa, karena banyak nya efek samping buruk dari pemberian antibiotik untuk bayi, kami pada akhirnya memutuskan secara sepihak untuk tidak memberikan obatnya. Karena sejujurnya kami tidak tega untuk memberikannya, ditambah baby K sampai saat ini pun masih dalam terapi hormone tiroksin yang kami pun tidak tahu sampai kapan.

Writer : Adit Taslim, Pict: Koleksi pribadi.

 

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.