HIV dan Tafsir agama,

author

AIDS bukan hanya isu kesehatan semata, ini adalah permasalahan politis.

Sejak pertama kali ditemukan kasus HIV di dunia dan juga di Indonesia, penyakit ini sudah mengundang kontroversi tersendiri. Pola persebaran virus ini yang di awal dideteksi berada dalam komunitas gay, melekatkan cap bahwa hanya kelompok gay saja yang berpotensi terkena penyakit ini. Perkembangan penyakit ini pun lambat laun memasuki sub kelompok lain seperti pekerja seks, pengguna narkotika suntik dan waria. Makin nyatalah stigma yang dilekatkan bahwa HIV adalah penyakit dari kelompok-kelompok yang menurut pandangan mainstream ada dalam posisi berdosa, bersalah, kutukan bahkan hingga azab bagi yang terkena. Stigma lalu semakin mengental bahwa kelompok tersebutlah, yang kemudian dikenal dengan nama populasi kunci, yang menjadi biang menyebarnya HIV.




Pada tahun 2011 ini, didapati fakta bahwa HIV adalah sebuah dinamika permasalahan sosial yang timbul di masyarakat dengan dampak merusak aspek kesehatan manusia. Faktor penyebab dan akibat dari infeksi HIV sendiri bersifat multi dimensional dan mencakup aspek kemiskinan, ketidaksetaran gender, kepercayaan, agama serta budaya yang berkembang di masyarakat, investasi kesehatan yang komprehensif dan berkelanjutan sampai dengan perdagangan bebas dan globalisasi.

Hal-hal yang disebutkan diatas membuat penyelesaian permasalahan HIV dan AIDS di Indonesia membutuhkan penyelesaian yang sifatnya politis mengingat begitu luasnya aspek dimensional yang terkandung di dalamnya.

Salah satu faktor yang menjadi penghalang bagi terciptanya program penanggulangan AIDS yang komprehensif, mengacu pada penjelasan diatas, adalah masih dilekatkannya stigma bahwa komunitas-komunitas yang terkena HIV adalah komunitas yang menurut tafsir agama adalah kelompok pendosa sehingga mengundang implikasi kurangnya perhatian dari pemerintah untuk secara serius menanggulangi permasalahan ini. Promosi penggunaan kondom pun selalu mendapat tentangan dikarenakan hal ini selalu dikontaasikan dengan promosi melakukan hubungan seks.

Pelekatan label bahwa penyebar HIV adalah komunitas “pendosa” serta promosi kondom sama dengan promosi melakukan hubungan seks telah membuat program penanggulangan HIV dan AIDS berjalan stagnan sebab inovasi yang diterapkan kerap kali bertabrakan dengan pendapat mainstream yang berlatar belakang tafsir agama yang di yakini oleh masyarakat Indonesia.

Partisipasi masyarakat sendiri masih rendah sebab mayoritas merasa cukup membentengi dirinya dengan ajaran, keyakinan atau agama yang dianutnya sehingga tidak merasa perlu untuk mencari informasi bagaimana HIV bisa menular. Ini dibuktikan oleh hasil riset Kesehatan dasar tahun 2010 yang membuktikan bahwa 57,5% penduduk Indonesia usia dewasa belum pernah mendengar HIV. Bisa dibayangkan jika mendengar saja belum pernah, bagaimana masyarakat bisa melindungi dirinya dari infeksi HIV.

Korban dari infeksi ini sendiri saat ini sudah tidak mengenal latar belakang agama, jenis kelamin, profesi, pendidikan, tingkat ekonomi dan pembedaan lain. Semua orang beresiko terkena HIV.

Hadirnya sebuah pendapat alternatif mengenai tafsir agama yang bisa digunakan dalam membantu mempromosikan progam penanggulangan HIV dan AIDS sangat diperlukan guna menyelamatkan masyarakat Indonesia dari bahaya infeksi HIV dan AIDS. Pendapat alternatif ini bisa digunakan oleh pihak-pihak yang bergerak di dalam program penanggulangan AIDS guna mereduksi absolusitas tafsir agama yang selama ini cenderung kontra produktif bagi program penanggulangan AIDS serta diperlukan pula dalam memberikan rasa nyaman bagi masyarakat dalam upaya melindungi diri dari infeksi HIV.

Siapakah yang mampu dan berani memberikan tafsir alternatif demi menyelamatkan penduduk Indonesia dari HIV?

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.