Selamat jalan, adikku…

author

Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Saya dan adik saya, Bagus, hanya berbeda 2 tahun sedangkan adik saya yang bungsu, Annies lebih muda 10 tahun dari saya. Ayah saya pensiunan swasta dan ibu saya ibu rumah tangga. Rumah kami di Jakarta Pusat. Saya sudah menikah dan bekerja sebagai Sekretaris Direktur di sebuah perusahaan konsultan keuangan di daerah Sudirman. Saya dan Bagus besar bersama, pergi ke sekolah yang sama sejak SD sampai SMA. Hubungan kami sangat dekat. Bagus memang supel dalam bergaul, berbeda dengan saya yang pendiam. Dia pandai bergaul dan punya banyak teman. Sejak SMP Bagus sudah mulai nakal, entah kenapa padahal kami terlahir dari keluarga yang bukan broken home. Kenakalannya dimulai dari merokok, ganja dan sejak kelas 1 SMA di tahun 1997 dia mulai mencoba putaw, entah sampai berapa kali dia keluar masuk pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba dan selama duduk di bangku SMA pun dia berpindah sekolah sebanyak 3 kali. Saya mulai melihat perbedaan sikapnya, dia seperti menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang untuk membeli putaw. Dia menjadi orang yang sangat berbeda dari kepribadian dia yang saya kenal sebelumnya, menjadi penyendiri, tidak bersahabat. Dia juga suka sekali dengan tato, jadi hampir disekujur tubuhnya terdapat tato. Saya ingat sekali dia mulai bertato di kelas 1 SMA dan menurut pengakuannya tato di lengan atasnya tersebut hanya tato temporer, awalnya orangtua saya terkejut, terutama ibu saya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu mereka seperti tidak kuasa untuk melarang dia.

Sejak lulus SMA di tahun 1997, saya kuliah di luar kota mengambil jurusan Sastra Inggris sehingga saya menjadi tidak terlalu dekat dengan adik saya. Dia lulus SMA di tahun 1999 dan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri di Depok, mengambil mata kuliah Pariwisata (Diploma). Dia hanya kuliah 2 semester di PTN tersebut dan memilih untuk mencoba PTS di tahun berikutnya. Kuliahnya tidak pernah selesai di PTS ini tetapi ayah saya sangat ingin anak lelaki satu-satunya untuk mendapatkan pendidikan yang setidaknya sama dengan yang dulu ayah saya dapatkan, tapi sangat sulit karena Bagus sudah terlalu tenggelam di dunianya bersama teman-temannya.

Pertengahan tahun 2000, saat itu ayah saya menelepon saya dan menjelaskan bahwa Bagus sedang dirawat disebuah RS untuk rehabilitasi narkoba di daerah Bogor. Keadaannya sudah sangat lemah karena over dosis dan ditinggalkan oleh teman-temannya di depan pagar rumah kami dini hari itu. Kemudian ayah saya membawa dia ke dokter dan dokter meminta segera dibawa ke RS untuk direhabilitasi. Di RS di Bogor ini untuk pertama kalinya kami sekeluarga diberitahu bahwa adik saya harus dites darah untuk mengetahui dia positif HIV/ tidak. Setelah dia pulih dari over dosisnya, dia ditest HIV dan dinyatakan negatif, mungkin ini yang namanya window period. Test dilakukan setiap bulan selama 3 kali dan memang hasilnya positif. Kami sekeluarga sangat sedih. Ayah dan Ibu saya saya terpukul dengan kejadian ini. Dokter meminta adik saya untuk mengkonsumsi obat-obat ARV. Juga kami terus berikhtiar dengan pengobatan alternatif.

Divonis HIV positif tidak membuat adik saya berhenti mengkonsumsi narkoba. Dia seperti tidak punya tujuan hidup. Dia hanya di rumah, tidak bekerja dan bergaul dengan teman-temannya. Tahun 2009 sampai awal 2011, dia sempat bekerja di sebuah perusahaan advertising, orangtua saya senang sekali melihat dia sudah ada keinginan untuk bekerja dan mencoba untuk hidup sehat. Dia terus mengkonsumsi obat-obatan dan kontrol ke dokter yang sudah menangani dia di RS Bogor. HIV positif tidak terlalu terlihat efeknya ke badannya, hanya terlihat semakin kurus tiap bulannya. Hingga di pertengahan tahun 2011, sekitar bulan November adik saya membuat tato di tengkuknya. Beberapa hari kemudian dia drop, badan panas dan muntah-muntah. Berat badan turun drastis, hingga tidak bisa jalan. Ayah saya langsung membawa dia ke RS Bogor. Dia dirawat disana di ruangan khusus untuk penderita AIDS. Dia tidak kuat untuk jalan jadi harus menggunakan kursi roda. Saya ingat saya menjenguk dia ke RS bersama suami saya dan saya tidak kuasa menahan airmata saya, saya menangis di dada adik saya yang tinggal tulang belulang. Wajahnya berbeda sekali dengan dia sebelum dirawat, sangat kurus. Tinggi badan adik saya 180 cm dengan berat badan hanya 50 kg. Disitulah saya berpikir, ini tidak boleh terjadi kepada kakak-kakak yang lain di dunia ini. Narkoba adalah musuh kita semua, saya harus berbuat sesuatu untuk adik saya. Saya menghadap ke dokter yang telah merawat adik saya sejak tahun 2000 dan dokter hanya bisa bilang ” Senangkan dia, turuti semua yang dia mau. Saya kira waktunya hanya sebentar lagi. Prediksi saya dia tidak akan melewati tahun 2008 tapi dia kuat, semangatnya untuk hidup yang membuat dia bisa bertahan sampai hari ini “. Adik saya perlu darah A+ waktu itu di PMI Bogor tidak ada darah golongan tersebut, saya sebarkan BBM, alhamdulillah teman-teman saya bisa membantu dan dia bisa mendapatkan transfusi darah. Cukup membantu saat itu, saya katakan ke adik saya, saya akan berbuat apa pun untuk kesembuhannya. Dia tidak boleh putus asa. Dia katakan dia hanya ingin pulang dan duduk di teras balkon rumah kami. Dia capek mengkonsumsi obat terus. Saya pulang dan dia mengantarkan saya ke lobby RS itu menggunakan kursi roda. Saya sedih, sangat sedih, terbayang kami berdua berlarian di taman rumah kami sewaktu kami kecil, kami bermain sepeda bersama. Dan sekarang dia terduduk lemas diatas kursi roda sambil menangis melihat saya pergi.

Adik saya dirawat di RS Bogor selama 3 bulan, kemudian Februari 2012 dia diperbolehkan pulang. Di rumah dia semakin lemah, berat badan semakin turun, makan, minum, buang air di tempat tidur. Orangtua saya adalah orang-orang yang sangat kuat, mereka berdua bahu membahu merawat anak lelaki satu-satunya, walaupun ibu saya pun sedang tidak sehat. Beliau mempunyai penyakit Diabetes dan mengalami serangan stroke untuk yang kedua kalinya, pertama di tahun 2007 yang kedua di tahun 2010. Tubuh adik saya semakin kurus, berat badannya hanya 40 kg saat itu. Pada saat ulang tahunnya yang ke 31 di 20 Juli 2012, dia hanya ingin makan pizza. Hari Senin, 6 Agustus 2012 di malam ke-17 bulan Ramadhan dia pergi menghadap Allah SWT dalam kesendiriannya pukul 18.50 WIB. Tidak ada yang menemani dia meregang nyawa. Ayah dan ibu saya sedang buka puasa dan shalat Maghrib, dan begitu ibu saya masuk ke kamarnya, dia sudah tidak bernyawa. Saya datang ke rumah kami dan mendapatkan dia sudah terbujur kaku ditengah rumah kami dikelilingi tetangga dan saudara-saudara. Saya kehilangan adik, teman, penyemangat hidup saya. Ayah saya sudah kehilangan anak lelaki satu-satunya.

Status di Facebooknya : ” Aku ingin hidup seribu tahun lagi “.

Saya masih berkabung sampai hari ini.

Doa kami untukmu, Bagus. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosamu, melapangkan dan menerangi kuburmu, menerima amal baikmu selama hidup dan iman Islammu. Amin.

 

 

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.