Bukan Lagi Monster

author

Entah mulai kapan virus  itu terdengar di telinga ini, tapi kedengarannya sangat menakutkan hingga orang-orang menjauh dengan orang yang terjangkit. Memilukan, disaat orang lain percaya dengan kesimpangsiuran tanpa mencari tahu kebenarannya. Dan mungkin aku salah satunya, sebelum mengenal dia yang positif terjangkit virus HIV/AIDS.

Namanya Artahsasta. Dia baru ku kenal belakangan ini. Pria berlesung pipit yang mempunyai postur tubuh yang tinggi. Dia menunjukan bahwa dirinya sehat seperti orang normal lainnya. Bila Artah tidak memberitahukan kepadaku bahwa dia terjangkit virus tersebut, mungkin aku tidak mengetahuinya. Karena secara kasat mata semua terlihat baik-baik saja.

Pertemuan kita tanpa disengaja. Di sebuah kedai teh, kita berdua duduk bersebrangan dengan laptop di depan mata. Obrolan dimulai ketika aku meminta Artah untuk bergantian memakai stop kontak karena baterai di laptopku hampir habis. Setelah itu tiba-tiba saja Artah mengulurkan tangan kanannya untuk mengajak berkenalan.

“Namaku Artah”

“Namaku Intan. Oh yaa… aku perhatikan kamu cukup lama juga di tempat ini. Lagi ada kerjaankah? Ujarku membuka obrolan?”

“Oh bukan kerjaan, aku lagi cari data aja buat yayasanku, tapi sepertinya gak enak deh kalo kita ngobrol kamu sambil berdiri gini? Gimana kalo kita jadiin satu meja aja, aku satukan dengan mejamu ya kalo tidak keberatan,”

“Oh enggak ko, its okay.” Ucapku dengan senyum.

“Kamu sendiri sedang apa disini? untuk anak seumuran kamu bisa betah berlama-lama dikedai teh sendirian?lagi galau ya putus dengan pacar?”

“Hahaha galau, iya sih ko tau? Dijidatku kayanya ga ada tulisan aku galau deh.  Ah sudahlah jangan bahas ini. Kan aku tadi yang nanya kamu duluan lagi ngerjain apa? ga baik loh belum jawab pertanyaan udah kasih pertanyaan balik.”

“Hehe, aku bercanda. Maaf..maaf… iya aku lagi nyari data mengenai virus HIV/AIDS yang meningkat setiap tahunnya di Indonesia.”

“Hmm…virus HIV/AIDS… untuk apa kamu mencari tahu mengenai monster itu?”  tanyaku.

“Intan…Intan, aku salah satu ODHAnya loh.”jawabnya sambil tersenyum

 

*Tersentak aku kaget. Bingung harus berkata apa dan sangat tidak enak karena kata-kataku pasti menyinggungnya.

“Maafkan perkataanku tadi ya, pasti kamu sangat tersinggung. Aku asal bicara saja.”

“Tidak apa-apa, semua orang yang tidak mengenal virus ini pasti perlakuannya sama denganmu. Aku memakluminya. Apa kamu mau tahu tentang virus ini yang sebenarnya?”

“Tanpa bicara, aku hanya mengangguk.”

Perbincangan terus bergulir hingga hari larut malam. Artah menjelaskan, bagaimana dirinya bisa terjangkit virus itu. Virus itu dia dapat karena ASI ibunya. Pada umur sekitar satu tahun Artah terkena penyakit. Setelah dites lab secara keseluruhan, disanalah diketahui bahwa dia terjangkit virus HIV/AIDS.

Akhirnya ibu dan ayahnya pun melakukan tes serupa. Hasilnya Ibunya positif dan ayahnya negatif. Beruntungnya setelah melahirkan Artah, kedua orang tuanya selalu memakai pengaman saat berhubungan agar tidak mempunyai anak dalam waktu dekat. Karena ibunya tidak cocok menggunakan pil kb.

Ibunya pasrah menerima kenyataan, bahwa virus tersebut karena jarum yang tidak steril pada saat membuat tato setelah melahirkan. Ayahnya lah yang menyemangati ibunya dan  Artah untuk tetap semangat dan mencari tahu obat untuk menanggulangi virus ini.

Ayahnya memang tidak terjangkit virus ini, tapi yang kuasa menjemputnya terlebih dahulu. Ayahnya meninggal karena kecelakaan pada saat usianya menginjak 17 tahun.

Artah tumbuh dengan banyak perlakuan-perlakuan yang dirasa tidak adil karena stigma yang beredar di masyrakat salah. Padahal virus ini tidak akan menular dengan hanya sekedar berjabat tangan, memakai peralatan yang sama.

Sedikitpun Artah tidak pernah mengeluh kepada Tuhan kenapa dirinya terjangkit virus ini. Artah berusaha menerima semuanya. Keluarganya selalu mendukung aktivitas yang dia lakukan dan mengingatkannya untuk teratur meminum Anti Retroviral Theraphy untuk menekan pertumbuhan virus tersebut.

Sekarang Artah tergabung dengan suatu yayasan yang concern dengan HIV/AIDS. Dia memberikan penyuluhan-penyuluhan ke setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia. Dia mengecewakan, karena setiap tanggal 1 Desember di seluruh dunia memperingati hari HIV/AIDS. Sebagian masyarakat dan aktivis HIV/AIDS melakukan advokasi penyadaran kepada semua orang akan bahaya penyebaran virus ini. Tetapi kasus ini terus meningkat pada Negara-negara miskin dan berkembang. Berbeda dengan kondisi penyebaran HIV di Negara maju. Di Negara maju insiden penyakit ini cenderung menurun dari tahun ke tahun karena penanganan yang baik dan efektifnya pemberian obat antiretroviral  pada pengidap HIV/AIDS.

Artah berharap, seiring dengan kecanggihan teknologi. Masyarakat Indonesia dengan cerdas mencari tahu kebenaran untuk mengetahui virus ini. Dengan dukungan dan hak yang sama, ODHA juga dapat berkarya seperti yang lainnya. Serta ODHA juga berhak sehat.

Kini Artah melanjutkan perjuangan ayahnya selama ini. Menjaga ibunya serta menuntut hak-hak ODHA. Sesuai dengan nama pemberian ayahnya. Artahsasta, yakni memiliki makna pejuang yang gagah berani.

Pemahamanku selama ini salah. Artah menyadarkanku bahwa virus ini bukanlah monster yang menakutkan seperti konstruksi masyarakat yang beredar. Kini Artah menjadi salah satu teman baikku, dan sesekali dia mengajakku untuk menemaninya pada saat penyuluhan. (*)

*nb: Ini hanyalah sebuah cerpen fiksi yang dimaksudkan agar masyarakat mengetahui bahwa virus ini tidak semudah virus influenza menular dan tidak dapat menular dengan kontak biasa seperti halnya berjabat tangan. ODHA mempunyai hak-hak yang sama dan berhak sehat seperti yang lainnya.

Salam,

Aff Afni

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.