Lebih dari Pemenang

author

Sriyatun melangkah gontai di selasar sebuah Rumah Sakit. Putra tunggalnya, Anto (25 tahun), baru saja meninggal dunia setelah beberapa hari menjalani penanganan sesak napas hebat karena penyakit tuberculosis (TB). Betapa terpukulnya Sriyatun ketika dokter memberitahunya sesuatu yang tak terduga, yang membuatnya paham kenapa TB sampai merenggut nyawa anaknya, tak seperti tetangganya, Solikhin yang juga mengidap TB, bisa sembuh total. Dokter menegakkan diagnosis atas kondisi Anto sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome atau disingkat AIDS. Suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV, Human Immune Deficiency Virus.

Fiksi mini di atas adalah suatu bentuk penyamaran dari cerita nyata yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tak sedikit orang yang terinfeksi HIV meninggal dunia bukan karena akibat langsung dari virus HIV melainkan karena penyakit oportunis yang menumpanginya seperti tuberculosis (TB), diare kronis, pneumonia (radang paru), ataupun candidiasis (infeksi jamur candida). Dan penyakit-penyakit tersebut terjadi pada kondisi klinis infeksi HIV yang sudah lanjut, yang memasuki stadium klinis yang berat. Ini memakan waktu dalam hitungan lebih dari lima tahun, tergantung manajemen terapi yang dijalani oleh penderita atau lazim disebut orang dengan HIV AIDS (ODHA). Bahkan sampai puluhan tahun ODHA bisa saja tak jatuh dalam kondisi AIDS.

Goal terapi HIV AIDS sendiri bukan untuk menyembuhkan sama sekali sehingga HIV benar-benar binasa, tetapi untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik dengan pantauan parameter yang terkendali. Parameter yang dikendalikan dalam takaran aman yakni CD4 (molekul sel yang berperan dalam fungsi kekebalan tubuh), kadar HIV dalam darah,  dan jumlah sel lymphocyte (jenis sel yang berperan juga dalam sistem kekebalan). Ini semestinya bukan menjadi porsi pengetahuan kalangan medis saja. Masyarakat umum wajar untuk tahu tentang ini. Faktanya sedikit yang tahu, bahkan langka dijumpai pengetahuan tersebut dimiliki awam. Tetapi ODHA banyak yang familiar dengan CD4 karena untuk menentukan terapi antiretroviral (ARV), status kadar CD4 harus diketahui. Baiklah, saya maklumi jika pembahasan ini dilanjutkan, akan menyurutkan niat pembaca menuntaskan isi tulisan ini. Intinya HIV AIDS disikapi bukan dengan ambisi untuk membasmi, tetapi fokus kepada penderita bagaimana dia bisa menjalani hari-harinya dengan baik, mandiri, dan berkualitas. It can be treated but not cured.

Sungguh menjadi keprihatinan bahwa jumlah kasus AIDS terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pengidap HIV positif. Jumlah kejadian AIDS di Indonesia sampai Juni Tahun 2012 adalah 32.103, sedangkan  HIV positif sebesar 86.762 (sumber : Ditjen PP dan PL Kemenkes RI).  Angka antara HIV dan AIDS berbeda jauh. Hal ini karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama yang terpikirkan adalah bahwa penderita yang terinfeksi HIV positif tidak semuanya berakhir pada kondisi AIDS. Kemungkinan lain adalah penderita mengalami penyakit kronis berat yang ternyata merupakan oportunis, sedangkan biang keroknya adalah infeksi HIV yang tak diketahui sebelumnya. Penderita ini belum sempat“tervonis” (meski saya tak menyukai istilah ini) AIDS saat dia meninggal. Contoh kondisi Anto dalam fiksi di atas mewakili kategori kemungkinan ini. Kebalikannya orang yang baru saja terdiagnosis (istilah ini baru saya sukai) HIV positif justru disangka akan segera mati karena begitu tenarnya HIV disimbolkan sebagai malaikat maut dalam beberapa poster yang saya lihat.

Mengidap HIV/AIDS mungkin sudah menjadi hukuman bagi orang-orang yang berbuat menyimpang seperti pengguna narkoba suntik, pekerja seks komersial, homoseksual, dan sepak terjang kelam sejenisnya . Banyak yang berpendapat bahwa diagnosis HIV/AIDS adalah vonis hukuman mati bagi orang-orang yang berbuat menyimpang tersebut. Penderitanya sendiri terkadang merasa lebih baik mati daripada hidup menyandang penyakit ini. Banyak yang tak takut mati dan sedikit yang berani hidup dengan menanggung stigma berat dalam masyarakat. Individu-individu yang merupakan bagian dari yang sedikit ini ternyata justru lebih “hidup” menjalani kehidupan setelah terdiagnosis HIV/AIDS. Suatu contoh yang sangat inspirasional bahwa seorang ODHA mampu mencetak prestasi yang mendunia. Sebut saja Derajat Ginanjar Koesmaryadi, pendiri Rumah Cemara, sebagai contoh yang bisa dikonfirmasi prestasinya melalui search engine internet bagaimana dia dan komunitasnya mampu meraih penghargaan dalam Homeless World Cup di Paris tahun 2011, suatu ajang kompetisi street soccer. Untuk melakukan kegiatan olahraga seperti ini tentu seseorang mesti dalam kondisi raga yang fit.

Masih umum dijumpai bahwa orang membayangkan penyandang HIV positif adalah orang yang sangat sakit dan tidak mandiri. Padahal menyandang HIV positif bisa dikatakan merupakan gelar hitam saja karena sejatinya dalam peri kehidupan sehari-hari penderita mampu hidup produktif, menjalankan pekerjaan se-kompeten orang lain di bidangnya bahkan mungkin lebih berprestasi

Terkadang yang membuat orang merasa menderita bukan akibat langsung dari penyakit itu sendiri melainkan pemikiran dan perasaan negatif yang mencengkeramnya. Memang ini erat kaitannya dengan label yang diciptakan oleh lingkungan. Faktor eksternal memang tak bisa dipaksakan untuk membentuk lingkungan kondusif bagi ODHA agar dapat menjalani kehidupan dengan normal, tanpa cibiran atau mata yang memicing saat mengetahui keberadaan mereka. ODHA tertuntut harus bisa mendongkrak semangat hidupnya sendiri dan memotivasi diri untuk tidak mengidap depresi. ODHA harus punya alasan untuk berani hidup.

Memiliki kualitas hidup yang baik lebih berarti daripada sangat berambisi mengoreksi label HIV positif menjadi HIV negatif atau disebut sembuh. Karena ini akan membuat ODHA semakin depresi mengingat peluang kesembuhan masih jarang ditemui. Depresi membuat orang tak produktif karena semangat hidupnya menurun bahkan gairahnya sudah mati lebih dulu sebelum ajal menjemputnya. Jika pengidap HIV atau ODHA diberi kesempatan sama seperti orang lain pada umumnya tentu akan membangun kepercayaan diri untuk bekerja dan berkarya.

Booster motivasi ini untunglah bisa didapat dari kelompok-kelompok pendukung yang peduli terhadap ODHA, contohnya Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Tak ketinggalan peran forum di dunia maya seperti website ODHA Berhak Sehat bisa menjembatani ketidaktahuan masyarakat untuk mereguk informasi yang relevan tentang HIV AIDS. Dan lambat laun informasi dan edukasi yang diberikan oleh kelompok-kelompok seperti ini tentang mitos dan fakta HIV/AIDS mampu mencelikkan mata hati masyarakat sehingga tetap memperlakukan ODHA sebagaimana diri-sendiri ingin diperlakukan di tengah masyarakat. Ya, mungkin tak semua kalangan masyarakat teredukasi, tetapi justru itulah kenapa terus-menerus diingatkan dengan momentum Satu Desember, sebagai peringatan Hari AIDS Sedunia. ODHA berhak hidup sama layaknya seperti warga negara lainnya dalam berbagai aspek kehidupan.

Kepercayaan diri ODHA yang terbangun untuk menghidupi hari-harinya akan mendorongnya untuk berani menaklukkan penyakit ini. Menaklukkan di sini dalam artian mampu menerima dan bersahabat dengan si virus sebagai penghuni tubuhnya meski dan mesti tetap melakukan terapi antiretroviral sehingga bisa hidup dengan well being. Pengabaian terhadap keinginan meraih label normal dan lebih fokus untuk bangkit dari keterpurukan dengan menjalani gaya hidup yang sehat diharapkan bisa membentuk kualitas hidup yang baik. Harapan hidup mungkin akan lebih panjang dari yang diperkirakan dan bahkan tidak pernah jatuh dalam kondisi AIDS.

Di masa depannya, ketika keberanian untuk tetap hidup dalam norma yang benar serta kegigihan dalam berkarya menuai hasilnya, ODHA akan menjadi pribadi yang lebih dari pemenang. Tak hanya memenangkan diri dari cengkeraman infeksi HIV karena berhasil menggagalkan manifestasi infeksi HIV sebagai penyakit-penyakit oportunis tetapi juga keberhasilan mewujudkan diri menjadi manusia yang produktif, berpestasi dan berkualitas baik jasmani dan rohani baik tanpa atau dengan virus HIV yang bersarang di tubuhnya.

Re-Post Tulisan

Reni Indrastuti / @reni_indras / http://thedoctorundercover.wordpress.com/2012/12/07/lebih-dari-pemenang/

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.