Satu Desember, Selamat Hari AIDS Sedunia?

author

Sudah banyak yang tahu bahwa setiap tanggal Satu Desember merupakan hari khusus untuk diperingati sebagai Hari Aids Sedunia. Layaknya hari besar yang lain, ucapan “selamat” adalah hal sederhana yang dilontarkan untuk mengisi peringatan tersebut seperti “selamat hari ibu” atau “selamat hari kartini”. Dan saya menemui postingan status update di timeline sosial media dengan ucapan “Selamat Hari Aids Sedunia”.  Selamat? Orang sudah menjadi latah bahwa peringatan suatu kejadian setiap tanggal tertentu cenderung untuk diisi dengan ucapan selamat. Tetapi pada peringatan Hari Aids Sedunia (HAS), tepatkah menempatkan kata Selamat? Selamat untuk apa? Selamat kepada siapa? Selamat atas apa? Apa yang sudah terjadi sehingga mesti diucapkan kata Selamat?.

Sejujurnya saya risih dengan ungkapan Selamat pada peringatan HAS. Jika menyempatkan merespon pertanyaan di atas, jawabannya jadi terkesan lucu dan sadis. Begini jawabannya : Selamat untuk adanya AIDS. Selamat kepada orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang mengidapnya. Selamat telah terjangkit penyakit AIDS. Selamat ada AIDS di dunia ini. Saya yakin, sebagian besar, kecuali yang punya pemikiran menyimpang, pasti merasa janggal jika membaca jawaban-jawaban itu. Aneh.

Kemungkinan orang mengucapkan selamat sebagai suatu reflek pengucapan daripada tak ada yang diucapkan atau dilakukan untuk menunjukkan simpati atau partisipasi dalam peringatan tersebut. Tetapi sayangnya jadi mengaburkan arti dan menjerumuskan pengertian terhadap kenapa ada peringatan Hari AIDS Sedunia. Sekitar seperempat abad Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahunnya sejak pertama kali dicetuskan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk Program AIDS Global di Organisasi Kesehatan Sedunia di Geneva, Swiss.

Satu desember bukan suatu perayaan melainkan peringatan akan kewaspadaan dan meningkatkan kesadaran untuk pencegahan terhadap sindrom penurunan sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus yang diberi nama Human Immune deficiency Virus yang tenar dengan singkatan HIV. Kekebalan tubuh bisa sangat menurun terjadi pada keadaan akibat transplantasi organ atau supresi oleh karena obat-obatan steroid, bukan karena HIV saja. Tetapi uniknya biang kerok penurunan sistem imun tubuh dari faktor transplantasi dan faktor steroid tak pernah digembar-gemborkan. Mengapa? Secara epidemiologis penderita penurunan sistem imun karena faktor ini sangat kecil dan sifatnya nontransmisi, tidak melibatkan hajat hidup orang banyak alias resiko ditanggung sendiri oleh penderita. Sangat bertolak belakang dengan penurunan sistem imun yang disebabkan HIV yang sangat fenomenal. Segala aspek kehidupan menjadi terkait gara-gara virus ini.

Tak dapat dipungkiri bagaimana HIV tak hanya menyuntikkan virus mematikan bagi yang terinfeksi, tetapi juga menyuntikkan stigma berat dalam masyarakat. Bahkan kalangan yang mestinya cukup informed dan teredukasi pun tak lepas didera sindrom paranoid saat berhadapan dengan kasus ini. Mari sedikit saya bagi cerita behind the scene dari panggung medis sebagai contoh. Dokter maupun paramedis akan terbelalak bola matanya atau mulut menganga saat menjumpai di atas kartu status pasien yang dipegangnya tertulis kode diagnosis “B20”. Kombinasi huruf dan angka yang telah disepakati secara internasional untuk mengkode-kan diagnosis HIV/AIDS. Meski dalam melakukan tindakan medis harus didasari cara yang lege artis atau sederhananya mesti sesuai prosedur, aman, dan berbasis kompetensi, tetapi menghadapi kasus HIV AIDS mereka butuh ekstra kehati-hatian, ekstra waspada bahkan terselip rasa takut apabila terjadi “kecelakaan” ketika mengoperasikan alat-alat kedokteran yang bersentuhan dengan cairan tubuh penderita HIV AIDS seperti darah, cairan mani, cairan vagina, bahkan air susu ibu (ASI). Apa yang mereka rasakan adalah manusiawi. Human error bisa menimpa siapa saja dan  kapan saja. Berbeda dengan kontak sosial yang sama sekali bukan suatu faktor resiko penularan.

Cukup untuk kalangan medis yang telah teredukasi tentang HIV AIDS. Kini untuk kalangan masyarakat secara umum. Kewaspadaan bisa jadi dimiliki oleh orang-orang yang dekat dengan kasus ini, seperti keluarga penderita, kelompok-kelompok beresiko tinggi seperti pengguna narkoba IDU (intravena drug user) ataupun penjaja seks komersial meski hal ini tak menjamin banyak. Masyarakat yang dianggap minim resiko mungkin tak sewaspada kelompok-kelompok beresiko. Padahal virus HIV tak pandang bulu, tak hanya mengintai orang-orang atau kelompok yang dilabel berperilaku kelam seperti yang tersebut di atas. Pribadi-pribadi solehah dan tak berdosa pun tak luput menjadi sasaran.  Di ibukota saja, berdasarkan data KPAP DKI per Agustus 2010, jumlah Ibu Rumah Tangga (IRT) yang terdeteksi mengidap HIV/ AIDS mencapai 12 persen dari total penderita HIV/AIDS. Kelompok-kelompok ini adalah korban yang terpaksa menanggung akibat perbuatan durjana yakni “akibat intim dengan setan”, suatu plesetan sinis dari kepanjangan AIDS. Ibu-ibu rumah tangga yang hidup polos terpaksa menerima transfer virus dari pasangan hidupnya yang telah “nakal” mengobral keintiman dengan beberapa wanita lain. Atau Contoh lain adalah bayi-bayi baru lahir yang tak berdosa tertular melalui transmisi perinatal, tertulari ibu kandung yang load virus HIV dalam tubuhnya cukup tinggi baik saat kehamilan, persalinan, maupun saat masa menyusui.

Dan bukan hanya kalangan medis saja yang sibuk membuat guideline tata laksana atau manajemen penanganannya. Pemerintah pun harus membuat regulasi atau kebijakan terkait penyakit ini karena secara ekstrim HIV AIDS telah menjadi masalah nasional, yang apabila tak ditangani serius akan menggoyahkan stabilitas nasional. Tak cukup pemerintah, lembaga sosial dan swadaya masyarakat pun turut mengambil andil untuk mengatasinya. Sudah sangat jelas, HIV AIDS adalah permasalahan kesehatan yang sangat krusial, meski angkanya tak selevel dengan penyakit degeneratif seperti hipertensi yang menjadi top ranking dalam sepuluh besar penyakit di sarana kesehatan primer, khususnya di puskesmas tempat saya berdinas. Tetapi pertambahan satu saja kasus HIV AIDS sangat signifikan mempengaruhi profil kesehatan Negara Indonesia.

Peringatan terhadap Hari AIDS Sedunia mestinya dimaksudkan untuk menjadi momentum yang terlihat dan teringat yang bukan sekedar melemparkan slogan tetapi juga memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat secara umum. Bukan saja membuat even-even yang beraroma perayaan. Saya yakin seseorang yang baru saja terdiagnosis B20 tak akan merayakan keadaannya, bahkan tragis bisa terjadi keadaan dramatis yang bertendensi ingin segera mati daripada disebut ODHA.

Salah satu contoh yang sangat positif adalah mengajak masyarakat berkontribusi nyata dalam mengantisipasi HIV AIDS.  Untuk bisa mengantisipasi tentu diperlukan pengetahuan tentang HIV AIDS. Memberi umpan balik untuk menyusuri sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang HIV, AIDS, maupun ODHA seperti ajang kontes menulis seperti ini patut diacungi jempol. Sedikit banyak akan didapat suatu gambaran tentang perspektif masyarakat secara umum. Feedback ini diharapkan mendatangkan manfaat, salah satunya menimbulkan kesadaran tentang awareness, kewaspadaan terhadap HIV AIDS, bukan berarti mewaspadai ODHA yang manifestasinya justru membuat perlakuan yang mengucilkan. Dan satu hal lagi, mewujudkan kesadaran bahwa Satu Desember bukanlah momen tepat memberikan ucapan “Selamat” pada peringatan Hari AIDS Sedunia. Silakan tukar sendiri dengan kalimat lain yang lebih bermanfaat. Atau jika tidak dengan kata, lakukan dengan perbuatan yang mewujudkan andil meminimalkan persebaran HIV AIDS. Tidak perlu menyuruh orang lain tetapi dimulai dari diri sendiri. Dan peringatan ini juga berlaku untuk diri saya pribadi. Salam sehat.

RePost dari

Reni Indrastuti / @reni_indras

Satu Desember, Selamat Hari AIDS Sedunia?

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.