Berbagi Kisah Hidup

author

images1

Tepat 3 hari suamiku meninggal tepatnya tahun 2008 aku membuka hasil tes HIV ku. Di depan konselor VCT aku hanya bisa menunduk takut, gelisah bahkan gemetar. Tak terbayangkan apa hasil di balik kertas itu, namun semua harus ku hadapi apapun hasilnya. Dan akupun di nyatakan positif HIV. Mendengar itu serasa dunia bergetar, tubuhku lemas dan bibir tak dapat berkata kata, hanya air mata yang mengalir mewakili perasaan hati.

Konselor VCT berusaha menenangkan dan memberikan informasi terkait HIV-AIDS, namun semua tak aku gubris karena aku sudah tidak bisa lagi menguasai emosi ku. Rasanya yang ingin ku lakukan adalah berteriak sekuat tenaga dan berkata kenapa harus aku? apa salah ku? selama ini aku melakukan tugas sebagai istri dengan baik dan setia. Langkah ku pulang kerumah serasa berat. Yang aku pikirkan adalah nasib buah hati yang usianya menginjak 5 bulan apakah nasibnya akan sama seperti aku? karena ia terlahir secara normal. Dan Bagaimana dia kedepannya nanti? pertanyaan itu terus berkecamuk di hati,aku ingin cerita banyak tetapi tak tau harus bercerita ke siapa?

“Waktu terus berjalan dan aku tak pernah kembali ke rumah sakit itu lagi, aku trauma bagaimana alm.suami ku di rawat di tempat yang tidak layak menurutku karena  kanan kiri sepanjang lorong itu adalah ruangan perawatan untuk orang gila dan di sudut lorong baru bangsal di mana suamiku di tempatkan,sedih miris dan aku tidak bisa berbuat apa apa,yang ku pikirkan saat itu suamiku mendapatkan pertolongan walau hati ini sebenernya menolak keras.

Aku terus memendam rahasia hati ini selama 3 bulan, berdiam diri di rumah dan memutuskan berhenti bekerja. Dan selama itu pula diam2 aku banyak belajar dari buku pemberian dokter di salah satu rumah sakit jakarta ketika aku menunggu suamiku yang lagi sakit  saat itu. Dari buku itulah aku mulai sedikit faham tentang informasi HIV-AIDS.Di buku itu banyak kutipan kutipan penyemangat dari almarhum Susana murni, seorang aktivis HIV-AIDS yang membuatku merasa sedikit termotivasi dan bersemangat.

Kondisi ku kian hari kian menurun, aku mudah sakit sakitan dan mudah lelah – di tambah pikiran yang berkecamuk di otakku,Dalam keadaan sakit aku masih belum sanggup menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada orang tua ku,semua ku pendam namun saat melihat anak ku tertidur pulas terbersit perasaan sedih kalau aku mati bagaimana dengan anak ku nanti siapa yang merawat nya kelak…?Sedangkan aku blm tau nasib anak ku kedepannya.timbulah semangat untuk bangkit “aku harus kuat demi anak ku”.

Keesokan harinya aku diam diam menemui seorang kader yang ku tau ia peduli dengan kasus kasus HIV di lingkungan ku dan aku menceritakan yang terjadi dan ia membantuku mengenalkan ke seorang yang bekerja di salah satu lsm dan aku akhirnya di dampingi untuk mengakses layanan kesehatan. lagi2 aku sering diam diam keluar rumah untuk mengakses layanan kesehatan dan berjumpa dengan pendamping. Begitulah keseharianku sampai bertahan dua bulan.

Dalam perjalanan mengakses kesehatan banyak hal yang menjadi penghalang apalagi masalah pendanaan.Namun aku bersyukur menemui pendamping yang selalu memberikan informasi terkait program gratis untuk aku dan anak ku.Sampai akhirnya Aku dan anakku mulai kembali lagi ke rumah sakit namun ke rumah sakit yang berbeda dari sebelumnya.di sana aku bertemu dengan Dokter yang seperti orang tua ku sendiri,dan pendamping yang sangat baik,aku merasa nyaman dan tidak merasa sendiri lagi.Setelah sekian lama menjalani proses pra ARV,akhirnya aku memulai mengkonsumsi ARV juga tepatnya tahun 2008, disaat itulah aku mulai berfikir untuk membuka status kepada  keluarga, Namun rasa takut ku akan penolakan keluarga selalu menghantui,pedamping ku slalu memberiku smangat dan slalu berkata “kamu pasti bisa”,,,jujur kepada keluarga bukanlah hal yang menakutkan,walau bagaimana pun mereka akan tetap menerima kita,karena bagaimanapun mereka harus mengetahui tentang keadaan mu dan anakmu. Keberanian itupun akhirnya muncul demi kebaikan aku dan anakku  yang masih kecil.

ketika di malam hari dalam suasana yang sangat tenang, aku dan mamaku mulai ngobrol santai terkait dengan kesehatan, pada kesempatan itu pula aku mulai membuka status ku, terlihat jelas ekspresi mamaku mendengar pengakuanku dan  sangat kecewa pada saat itu mama pun sempat marah besar. Dan waktu itu aku mencoba untuk menenangkan situasinya secara perlahan aku menjelaskan informasi yang sebenarnya tentang keadaanku.namun mama tidak menanggapi nya karena masih terbawa emosi.

Dan keesokan harinya sikap mama beda,seolah tidak bisa menutupi kekecewaannya.aku mengerti kenapa mama seperti itu  dan aku hanya bisa diam.tak begitu terlihat diskriminasi di keluarga dan itu yg membuat aku sedikit lega.ku letakan buku buku informasi HIV-AIDS di meja agar siapa pun di keluarga ku bisa membaca dan berharap mereka mau mempelajarinya.Berhari hari dengan keadaan seperti ini membuatku tidak nyaman dan tidak tenang lalu aku meminta bantuan pendamping untuk ikut menjelaskan kepada keluargaku untuk menguatkan informasi terkait dengan informasi HIV/AIDS, dan ia pun berkunjung kerumah ku,Keluarga ku mennyambut baik dan keluargaku mau mendengarkan cerita karena si pendamping mempunyai status yang sama dengan diriku dan akhirnya sikap mereka pelan pelan berubah, merekapun mulai menerima.

Dan sejak kejadian itu terbesit dalam pikiranku untuk menjadi relawan untuk mendampingi orang-orang yang baru mengetahui status HIV, karena aku menyadari betapa sulit dan tertekannya orang yang baru tahu status untuk penerimaan diri dilingkungan keluarga dan masyarakat. Aku banyak belajar menjadi relawan dari temen-temenku yang sudah lama terjun menjadi relawan, Terutama pendampingku Hal pertama yang aku pelajari adalah ,memperdalam  informasi tentang HIV-AIDS dan mengikuti KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) serta menghadiri pertemuan-pertemuan terkait dengan HIV-AIDS.

Setelah kemampuan dan kesehatanku mulai pulih, akupun beranikan diri untuk menjadi relawan, dan untuk pertama kalinya aku mempunyai kesempatan mendampingi seseorang dari rujukan seorang dokter di salah satu rumah sakit di J akarta. Dan pengalaman pertama mendampingi aku bertemu dengan seorang Perempuan putih bersama ibunya.Dan itulah awal pertama kali aku mendampingi “orang dengan HIV-AIDS” (ODHA). Dari disitupulah kepercayaan diriku tumbuh untuk memantapkan diri  menjadi relawan sebagai jalan hidup.

Terlalu banyak cerita selama pengalaman menjadi relawan, tapi aku hanya ingin menceritakan salah satu cerita antara aku dan sahabatku yang sama-sama mempunyai kisah tentang penerimaan diri didalam keluarga dan masyarakat

Sebut saja namanya… “L dia terinfeksi sejak tahun…….. setelah tau status dia sama seperti ku memilih mengurung diri,menjadi pendiam dan putus asa.aku kenal dia dari Dokter konselor vct di salah satu rumah sakit di Jakarta,yang memang mengenalkan aku dengan seizin nya..keadaannya kurus,batuk2 dan raut wajahnya terpancar rasa putus asa. Kucoba mendekatinya mengusap punggungnya dan berkata “sabar nanti juga kamu akan sehat lagi”,dan kami ber 3 – aku ,dia dan mamanya pun berbicara dalam sebuah ruangan yang memang sudah di sediakan oleh rumah sakit sebagai ruang KDS (kelompok dukungan sebaya). “L” menangis seolah merasa semangatnya sudah pupus dan lelah dengan semua yang ia hadapi.ia banyak diam dan menutup diri namun aku berusaha terus memberinya semangat dan pelan pelan memberikan informasi HIV-AIDS.Dan Aku bercerita aku sama seperti mu perempuan dengan HIV positif.

Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan,masa masa ngedrop,masa masa putus asa,masa masa di mana serasa semua sudah tiada arti lagi.semua aku rasakan,namun aku berfikir aku ga boleh selamanya seperti ini,terpuruk yang hanya membuatku tambah sakit kulihat anakku dan dialah semangat hidupku.Dari situ kujalani semua,kulawan semua dan ku lewati.dan aku bisa melewati semua itu.kini saatnya kamu yang melakukan itu…..dia tersenyaum memelukku dan berkata iya saya harus bisa melewati semua ini dan ia pun bercerita banyak hal tentangnya. Aku bahagia dia bisa nyaman dan percaya padaku.Itu suatu kepercayaan yang harus ku jaga sebaik baiknya.

Selain di layanan aku sering berkunjung ke rumah nya ,aku juga membawakan buku buku motivasi untuk di baca olehnya. Berkunjung kerumahnya  bukan hanya sekedar pendampingan tapi pendekatan ke keluarga, itu juga satu hal yang penting. Aku juga berusaha menganggap mereka adalah bagian dari keluargaku.Dan mereka pun menyambut baik. Melalui obrolan obrolan kecil ku sisipkan banyak informasi melalui pengalaman hidupku, mungkin itu akan  lebih mudah di terima dan memang nyata.

Waktu berjalan keadaan sahabatku lambat laun mulai pulih,Raut ceria terpancar di matanya sambil memeluk 2 buah hatinya yang tampan .Terbersit rasa bahagia di hatiku melihat situasi bahagia ini.Ia ku ajak ke pertemuan kelompok dukungan sebaya sama persis yang ku lakukan dulu.Ku lihat semangatnya tinggi dan kondisinya jauh lebih baik,ada kepuasan sendiri yang ku rasakan.

Setahun kemudian ia terus aktif di berbagai pertemuan dan Ia pun sudah mulai beraktivitas kembali bekerja di sebuah restaurant namun hatinya memilih untuk menjadi relawan.Dan ia pun menjadi relawan.kini aku terus menyebar benih benih semangat kepada sahabat sahabatku yang baru mengetahui status HIV positif nya baik perempuan ataupun laki laki.Sudah banyak sahabat sahabatku yang menjadi relawan dan membantu teman teman yang membutuhkan pendampingan Semoga apa yang ku lakukan menjadi satu hal yang positif.Kini mereka menjadi sahabatku dan keluarga mereka sudah seperti keluargaku.

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.