Memahami CEDAW Sebagai Alat Advokasi Isu Perempuan

author

art-graffiti-women-wall-largeKonvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapakan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.

Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dibentuk pada tahun 1982, setelah Konvensi dinyatakan berlaku. Tugas utamanya adalah untuk mempertimbangkan laporan periodik yang disampaikan kepada Komite dari Negara-negara Peserta mengenai langkah-tindak legislatif, judikatif, administratif dan tindakan-tindakan lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi.

Pada tahun 2011, untuk pertama kalinya di Asia Tenggara, Jaringan Perempuan Positif HIV di Indonesia menggunakan Laporan Bayangan CEDAW untuk melaporkan sterilisasi paksa dan kekerasan terhadap perempuan posistif. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) menyampaikan laporannya berdasarkan penelitian sebaya diantara 122 Perempuan Positif dari delapan provinsi di Indonesia yang mengungkapkan kekerasan yang dihadapi oleh Perempuan dengan HIV. IPPI juga terlibat dengan studi kedua “Positive and Pregnant – How dare you” yang dilakukan di enam negara Asia dimana dari 109 perempuan positif hamil mengalami kekerasan secara verbal dan fisik oleh petugas kesehatan sebelum, selama dan setelah kehamilan serta 44 orang diantaranya didorong untuk melakukan sterilisasi.

Dalam merespon semua temuan ini IPPI kemudian berkolaborasi bersama dengan CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) untuk memasukannya ke dalam Laporan CEDAW Indonesia. IPPI menjadi jaringan perempuan positif HIV pertama di Asia Tenggara yang berani melakukan pelaporan kekerasan ini melalui mekanisme CEDAW. Setelah pelaporan tersebut Menteri Kesehatan berkomitmen untuk mencari solusi isu sterilisasi bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan IPPI.

Empat tahun setelah IPPI menyampaikan Laporan Bayangan CEDAW mengenai sterilissasi paksa dan kekerasan terhadap perempuan, masih tampak kesenjangan dalam program penanggulangan HIV di Indonesia yang responsif gender. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan sejak tahun 2011, jumlah perempuan positif di Indonesia semakin bertumbuh, perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang positif saat ini adalah 1:1. Resiko tertinggi penularan HIV di Indonesia sampai saat ini masih melalui kegiatan seksual yang tidak aman diantara heteroseksual yang diindikasikan dengan meningkatnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV di Indonesia. Berdasarkan data modeling yang dibuat oleh KPAN pada tahun 2030 diproyeksikan jumlah infeksi HIV tertinggi akan terjadi pada kelompok perempuan beresiko rendah seperti pasangan intim populasi kunci, klien pekerja seks, pasangan serodiskordan dan lainnya sehingga hal ini perlu direspon dengan program penanggulangan HIV yang lebih responsif gender. Situasi ini tidak dapat dipungkiri didorong pula oleh kekerasan terhadap perempuan, selain itu program SUFA (Strategic Use for ARV) yang diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia dimana perempuan hamil diharuskan untuk melakukan tes HIV perlu diseimbangkan dengan pola pikir dan perspektif yang melihat kebutuhan perempuan sehingga tidak ada bentuk kekerasan yang dilakukan oleh petugas kesehatan seperti tes mandatory atau bahkan hanya dengan memberikan informasi yang sangat terbatas terkait HIV dan layanan kesehatan lainnya.

Diskriminasi terhadap perempuan populasi kunci lainnya banyak terjadi di Indonesia, hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi penanggulangan HIV di Indonesia sebagai contoh adalah penutupan lokalisasi di sejumlah daerah di Indonesia. Sampai saat ini terdapat 26 lokalisasi yang sudah ditutup, melihat fenomena ini Jaringan Pekerja Seks Indonesia (OPSI) melakukan analisis situasi untuk mengetahui dampak penutupan lokalisasi pada program HIV. Dalam studinya OPSI menemukan bahwa penutupan lokalisasi ini berdampak pada pekerja seks perempuan dan waria dalam mengakses layanan kesehatan karena terpaksa pindah ke daerah lain. OPSI pun menemukan kesulitan untuk menemukan menjangkau pekerja seks dan memberikan informasi terkait HIV karena mobilitas pekerja seks setelah penutupan lokalisasi. Isu lainnya yang muncul terkait dengan akses terhadap kondom, penutupan lokalisasi menjadi hambatan baru bagi pencegahan HIV dan penyakit menular lainnya di Indonesia.

Di luar kedua isu perempuan positif dan pekerja seks, perempuan dari populasi kunci lainnya (perempuan penasun, waria dan populasi kunci muda mendapatkan kesulitan akses terhadap layanan kesehatan dan sering kali mengalami diskriminasi dari petugas kesehatan. Kekerasan menjadi hambatan bagi perempuan dan remaja perempuan untuk mendapatkan pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV.

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.