“Menagih Janji & Tanggung Jawab, Bukan review Semata”

author

PERNYATAAN SIKAP

KONSOLIDASI MASYARAKAT SIPIL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

PERNAS IV 2011 DI YOGYAKARTA

[KOMAS-AIDS 2011]

“MENAGIH JANJI & TANGGUNGJAWAB, BUKAN REVIEW SEMATA”

Lima tahun sejak penataan ulang KPA dengan Perpres 75 tahun 2006 belum menampakkan fundamen kepemimpinan, kebijakan dan program yang kuat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Selama 5 tahun, masyarakat sipil dibingungkan dengan dualisme kepemimpinan antara KPA dan Kementrian Kesehatan. Program STBP (Survey Terpadu Biologis dan Perilaku) dan Sero-survey yang dikomando oleh Kemenkes dan SCP (Survey cepat Perilaku) yang digawangi oleh KPAN adalah bukti konkret tidak jelasnya komando penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Padahal keduanya menjadi landasan awal bagi ketepatan program berbasis evidence based.

Carut marutnya komando penanggulangan HIV dan AIDS diperparah dengan tidak beranjaknya nalar pragmatisme di tingkat pemerintah di semua level yang justru dilenakan oleh dana bantuan internasional. Konfigurasi anggaran penanggulangan belum beranjak dari dominasi bantuan internasional ketimbang APBN/APBD, dengan perbandingan 60 :40. Data dari Nasional AIDS Spending Assesment yang dikeluarkan dalam laporan pemerintah untuk UNGASS on AIDS mencatat pembelanjaan sebesar US$ 30,9 Juta berasal dari bantuan asing dan US$ 19,8 Juta berasal dari dalam negeri. Fakta ini jelas menunjukkan komitmen politik anggaran negara dalam penanggulangan HIV dan AIDS masih dalam kondisi ‘jongkok’.

Situasi kebijakan semcam ini menjadi satu catatan buruk tentang keberfungsian KPA di semua level untuk mampu mengkoordinasikan segenap sektor pemerintah terkait dalam peningkatan kinerja, program dan anggaran demi penanggulangan HIV dan AIDS. KPA asik bermain di bawah wewenang “membangun kerjasama” untuk memuluskan gelontoran bantuan internasional, dan akhirnya melebarkan kewenanggnya sebagai pelaksana program penanggulangan.

Situasi sistemik kebijakan yang pragmatis berbanding lurus dengan nalar tidak sensitive gender yang menggenapi keteledoran sistemik negara dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Tak ayal, perempuan lah yang lantas dikorbankan. Selain dijadikan obyek program, tubuh mereka dikontrol sedemikian rupa hingga mencerabut otonomi dan hak seksual dan reproduksi atas nama Program Penanggulangan HIV dan AIDS.

Sejurus dengan itu, program penanggulangan HIV dan AIDS dengan semata kaca-mata risiko, menempatkan Perempuan Pekerja Seks semata sebagai ‘tersalah”. Di satu sisi, program penanggulangan HIV dan AIDS semata mengintervensi perubahan perilaku mereka, melupakan peran utama laki-laki pembeli jasa seks dan system pemiskinan pekerja seks didalamnya. Di lain sisi, kriminalisasi dan diskriminasi terhadap Pekerja Seks semakin menjadi dengan lolosnya Peraturan-Peraturan daerah yang memberangus hak pekerja seks untuk terlindungi dari paparan HIV.

Dampak lain dari kacamata semata risiko menjerembabkan komunitas yang dimarjinalkan secara seksual dan gender dalam situasi kerentanan yang menetap. Pengakuan dan penghormatan atas keragaman identitas gender dan seksual masih dilindas oleh paradigm melulu “perilaku” yang tidak sampai pada penghapusan stigma dan diskriminasi berbasis orientasi seksual dan gender. Padahal, sudah merupakan fakta bahwa tindak stigmatic dan diskirminatif terhadap komunitas LGBT akan menghambat program penanggulangan HIV dan AIDS, baik dalam konteks pencegahan maupun dalam konteks CST (care, support & treatment).

Setali tiga uang, komunitas remaja sebagai kelompok umur dengan angka kasus positif HIV terbesar, belum juga diakomodasi secara sistemik dalam kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi dan stigma terhadap kelompok ini masih sangat mudah ditemukan, khususnya ketika mereka mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk HIV dan AIDS. Situasi ini diperparah dengan belum diberikannya hak remaja untuk bisa mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif, baik yang terakomdasi lewat sistem kurikulum sekolah maupun program non sekolah.

Lemahnya fundamen kebijakan dan program HIV dan AIDS negara menyuburkan nalar pragmatism di kalangan pemerintah. Arus “bantuan internasional” diikuti hanya dengan niatan “mendapatkan jatah anggaran dan program”, tanpa dibarengi keseriusan membangun system anggaran negara yang kuat. Alhasil, beralihnya pola paparan dari transmisi Napza suntik ke hubungan seksual rupanya menjadi suatu momentum ditinggalkannya komunitas Korban Napza dalam program dan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS. Saat ini, seakan-akan seluruh elemen berbondong-bondong masuk ke dalam program Pencegahan Melalui Transmisi Seksual [PMTS], dan meninggalkan secara sistemik program Harm Reduction bagi para Korban Napza. Situasi senada juga terjadi bagi layanan HIV dan AIDS bagi Narapidana, yang belum juga dipenuhi, saat ini jutsru seakan ditinggalkan. Pemenjaraan bagi korban NAPZA menjadi sebuah pintu kematian menginggat tingginya angka kematian ODHA dan Korban Napza di penjara.

Ketidakseriusan negara juga terlihat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS bagi Buruh Migrant Indonesia [BMI]. Mengutip data dari para pegiat hak BMI, HIPTEK (Himpunan Pemeriksa Kesehatan Tenaga Kerja) mencatat bahwa tahun 2005 saja, terdapat 131 (0.09%) calon BMI teridentifikasi positif HIV dari 145.298 calon BMI yang akan berangkat ke Timur Tengah (Januari-October 2005). Data kenaikan juga ditemukan di beberapa daerah. Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Nusa Tenggara Timur, misalnya, memaparkan bahwa per Juli 2009, 199 orang meninggal akibat HIV dan AIDS. Dari data tersebut jumlah 15 % merupakan mantan buruh migran. Sedangkan data Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) RSUD dr Soebandi, Jember, menggambarkan bahwa 30 persen dari 227 orang dengan HIV dan AIDS yang ditangani adalah mantan BMI. Kerentanan buruh migrant terhadap HIV juga terjadi pada buruh migrant tidak berdokumen. Peduli Buruh migrant, hingga 2011, setidaknya menangani 50 Kasus buruh migrant tidak berdokumen dari Malaysia yang terinfeksi HIV.

Kondisi monoton dan cenderung menurun mendera program pengembangan infrastruktur kesehatan untuk menanggulangi AIDS. Bukti konkretnya laporan penerimaan ARV kadaluarsa medio Juli dan Agustus 2011 di 25 RS rujukan di 10 Provinsi akibat distribusi obat yang tidak bertanggung jawab. Sungguh, seperti tidak tahu bahwa konsumsi ARV kadaluarsa dapat membahayakan keberhasilan pengobatan yang jelas dapat meningkatkan risiko penularan HIV ditengah masyarakat. Pemantauan terbatas dari organisasi IPPI juga masih mendapati praktek sterilisasi paksa pada perempuan terinfeksi HIV yang menjalani program pencegahan penularan HIV ke anak.

Ketidakseriusan negara dalam program CST bagi ODHA terlihat juga dalam skema jaminan kesehatan yang sampai saat ini belum terakomodasi secara berkelanjutan. Isu ARV kadaluarsa digenapi dengan tidak jelasnya program pendampingan dan penguatan ODHA dan masih berbayarnya layanan tes laboratorium dalam kerangka terapi ARV, seperti tes CD4 dan Viral Load. Beberapa tes penerimaan pegawai yang mensyaratkan ‘bebas HIV’ seakan melengkapi pemenjaraan ODHA dalam ruang alienasinya.

Menyadari sekian catatan tentang belum seriusnya negara dalam penanggulangan HIV dan AIDS, maka Masyakat Sipil Penanggulangan HIV dan AIDS yang mengiringi Pernas IV 2011 merasa perlu untuk bersikap dan menuntut tanggungjawab negara untuk membangun fundamen kebijakan dan program HIV dan AIDS secara lebih serius. Pernas bukan semata arena review, tapi juga harus dimaknai sebagai arena negosiasi sipil terhadap negara dalam pemenuhan hak yang terkait dengan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, Konsolidasi Masyarakat Sipil Penanggulangan HIV dan AIDS di Pernas IV 2011 [Komas-AIDS 2011] bersikap sebagai berikut :

  1. Menolak dualisme kepemimpinan Penanggulangan HIV dan AIDS dan mengembalikan KPAN/P/Kab/Kota kepada tanggungjawab koordinasi sector-sektor terkait HIV dan AIDS.
  2. Menuntut peningkatan anggaran negara [APBN / APBD] dan penerapan anggaran reponsif gender untuk penanggulangan HIV dan AIDS.
  3. Menuntut kesetaraan hak bagi pekerja seks, dan pencabutan Perda yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi pekerja seks, serta menolak program pembubaran lokalisasi.
  4. Menolak kontrol negara atas tubuh perempuan dan menuntut penghormatan, pemenuhan serta perlindungan hak perempuan dalam program-program HIV dan AIDS.
  5. Menuntut pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dan identitas LGBT [Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgdender].
  6. Menuntut pengakuan dan pemenuhan hak kesehatan reproduksi hak remaja, perlindungan remaja dari risiko reproduksi dan seksual [HIV dan AIDS] dengan pemberian pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual yang komprehensif dan layanan ramah remaja.
  7. Menuntut keseriusan negara dalam program Harm Reduction dan CST bagi Korban Napza dan Narapidana.
  8. Menuntut perlindungan hak Buruh Migran Indonesia dari paparan HIV dan tes wajib [mandatory test] HIV dan AIDS dan menuntut keseriusan negara dalam penegakan Aturan HIV dan AIDS di Tempat Kerja [HIV & AIDS Workplace Policy].
  9. Menuntut pertanggungjawaban dan keseriusan negara dalam layanan CST, termasuk pengadaan ARV lini 2 yang berkelanjutan, tes laboratorium terkait terapi ARV secara gratis dengan peningkatan anggaran negara.
  10. Menuntut hak kesehatan ODHA lewat jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh negara dan penerapan GIPA (Greater Involvement People living with HIV) di semua level.

Kontak:

Aditya Wardhana: 0858 147 147 69

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.