Dari pandangan ini muncul asumsi tak manusiawi, ODHA tak layak dikasihani karena penyakit itu merupakan kutukan atas perbuatan ”tercelanya”. Dengan pandangan negatif itu pula, tak jarang orang-orang terdekat dengan ODHA, termasuk keluarga sekalipun merasa punya aib kalau di keluarganya terdapat ODHA. ODHA pun tak lagi mendapat perlakuan semestinya sehingga secara psikologis akan semakin menderita.
Fakta Tentang HIV dan AIDS
Menurut data Kemenkes RI, dari Januari sampai dengan Maret 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.991 kasus. Persentase kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun atau 75,4%, diikuti kelompok umur 20-24 tahun 15,0% dan kelompok umur lebih dari 50 tahun 4,8%. Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual sebanyak 46,6%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun 12,6% dan Lelaki Seks Lelaki (ISL) sebanyak 6%.
Kasus AIDS Januari sampai dengan Maret 2012 sebanyak 551 kasus. Persentase kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 35,2%, diikuti kelompok umur 20-29 tahun 30,9% dan kelompok umur 40-49 tahun 15,6%. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Jumlah kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Bali 154, Jawa Barat 104, Jawa Timur 65 dan Sulawesi Selatan 56. Persentase factor risiko AIDStertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual 77%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun 8,5%, dari ibu positif HIV ke anak 5,1% dan Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak 2,7%.
Perlu mendorong semua pihak, baik ODHA dan lingkungan terdekatnya agar mendukung upaya sehat ODHA, baik secara moril maupun pengobatan. Perlu juga cara pencegahan penularan virus HIV dan AIDS. Misalnya dalam hubungan seksual ODHAharus menggunakan kondom, meski efektifitasnya masih jadi perdebatan.Masa perawatan di rumah sakit, diskriminasi masih dikabarkan sering terjadi. Misalnya dengan perlakuan khusus serta ruang yang kerapkali dibedakan dengan pasien penyakit biasa yang secara tidak langsung menambah derita psikologis pasien ODHA. Maka yang paling praktis saat ini dilakukan, selain perawatan secara medis juga dorongan psikologis agar ODHA memiliki semangat hidup. Perlu juga penyebaran informasi pengatahuan secara massif kepada seluruh lapisan masyarakat. Informasi itu menyangkut bagaimana proses penularan HIV dan AIDS juga kesadaran agar menjauhi perilaku berisiko.
Berbagai PendekatanBerbagai pendekatan juga perlu dilakukan, termasuk pendekatan agama dan budaya. Meski orang banyak apriori terhadap pendekatan ini, setidaknya perlu dicoba. Misalnya, tokoh agama dan tokoh budaya kembali menginternalisasi ajaran masing-masing agama atau budayanya, bahwa berhubungan seksual bukan dengan pasangan yang sah (zina). Demikian juga menyalahgunakan narkoba baik melalui jarum suntik maupun media lain merupakan perbuatan dosa yang juga dilarang karena akan merusak kesehatan. Pendekatan lain pun harus dilakukan. Misalnya, memberi kesadaran kepada siapapaun termasuk yang berperilaku berisiko agar lebih cepat mengatahui apakah dirinya tertular virus HIV dan AIDS atau tidak? Seandainya yang bersangkutan sudah tertular HIV dan AIDS diharapkan lebih hati-hati supaya tidak menularkan pada orang lain termasuk orang-orang yang dicintainya.
Tak kalah pentingnya, pendekatan politik dan kekuasaan dengan melibatkan para pemilik kebijakan. Misalnya DPRD dan pemerintah masing-masing daerah mengelokasikan anggaran APBD I/APBD II untuk membiayai sosialisasi mencegahan penyebaran HIV dan AIDS juga biaya perawatan para ODHA. Political will ini penting ditingkatkan, mengingat masih banyak daerah yang belum memandang persoalan HIV dan AIDS merupakan ancaman terhadap warga daerahnya. Semua pendekatan di atas diharapkan terintegrasi serta berjalan pada wilayah masing-masing di samping terus mencari pendekatan yang lebih efektif serta manusiawi dalam mengurangi angka penyebaran HIV dan AIDS tersebut.
Tulisan ini di Re-post dari Anep Paoji / @ANEPPAOJI / http://anepaoji.blogspot.com/2012/12/destigmatisasi-upaya-menghormati-hak.html