Kisah Dari Ruang UPIPI

author

Ruang UPIPI (Unit Perawatan Intermediet dan Penyakit Infeksi) RSUD dr Soetomo Surabaya, menjadi tempat rujukan pengobatan bagi penderita HIV/AIDS di Surabaya. Aku bersyukur kepada Allah, diberi kesempatan untuk tahu sedikit lebih banyak tentang tempat perawatan bagi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) ini. Terletak di bagian belakang dari bangunan RSUD dr Soetomo, hanya berjarak beberapa meter dari kamar jenazah. Di kanan-kiri jalan masuk ke ruangan ini, banyak orang laki-laki maupun perempuan yang memakai masker penutup hidung warna hijau. Mereka umumnya keluarga pasien yang berasal dari luar kota. Tikar umumnya dipakai sebagai alas tidur mereka pada malam hari. Kalau pagi hari lorong ini harus bersih dan ada larangan ketat untuk tidak menggelar tikar atau alas bentuk lainnya.

Aku berkesempatan beberapa hari mengunjungi ruang UPIPI beberapa bulan yang lalu, karena ada teman yang dirawat di sana. Awalnya, aku  dan keluarga teman ini tidak tahu kalau orang yang setiap harinya dekat dengan kami adalah ODHA. Dari keseharian dia bukan termasuk orang yang beresiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Aku dan keluarganya sangat dekat, dan menganggapku seperti keluarga mereka sendiri. Temanku ini  seorang perempuan, muda dan cantik. Ceritanya bermula dari sakit batuk yang dideritanya selama beberapa minggu. Batuk tanpa dahak. Dia masih bisa beraktifitas seperti biasanya. Sampai pada suatu saat, sepulangnya kami dari pelatihan kerja di Pacet, Mojokerto, dia drop dan hanya bisa berbaring di tempat tidur untuk beberapa lama. Berat badannya turun dengan sangat drastis. Kalau malam hari, sering menggigil kedinginan, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Dalam beberapa kesempatan aku menjenguknya, keluarganya memberi informasi kalau dia sakit TBC, dan dengan perawatan rutin dan seksama, selama 6 bulan harus minum obat tanpa putus akan sembuh.

Satu-dua hari tidak ada perubahan, hingga satu minggu, akhirnya pihak keluarga membawanya ke rumah sakit dr Soetomo, di sini akhirnya terkuak. Dokter memanggil keluarganya dan menginformasikan kalau putrinya ini menderita TBC, salah satu InfeksiOportunistik (IO) yang mendefinisikan penderita terkena HIV/AIDS. Keputusan ini disampaikan dari serangkaian hasil test yang dijalankan pada sample darah penderita. Ternyata temanku ini sudah masuk tahapan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome’). AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir. Tes CD4 yang dijalaninya menunjukkan jumlah CD4 darahnya di bawah 200, satu angka yang menunjukkan system kekebalan tubuhnya sudah sangat lemah/rusak. Hingga dengan mudah bakteri atau virus lain menyerang dan menimbulkan penyakit yang mengancam nyawa penderitanya. Temanku menjalani rawat inap di Ruang UPIPI.

Aku sebagai sahabat pun mengalami shock seperti keluarganya, kuputuskan segera browsing di internet untuk mengetahui lebih banyak tentang HIV/AIDS. Aku tidak banyak bertanya padanya, untuk menjaga perasaannya, demikian juga ke pihak keluarga. Aku lebih banyak berperan membangkitkan semangatnya untuk tetap fight menghadapi hidup. Banyak-banyak beristighfar dan mendekat kepada-Nya dengan cara sebisa dan semampu dia. Aku yakin Allah memberi jalan yang terbaik.

Malam itu, aku punya kesempatan menungguinya, menyuapi makan dan ngajak ngobrol. Aku pun punya waktu lebih banyak untuk melihat kondisi pasien di sekitarnya. Di ruangan luar terlihat lelaki muda, sekitar tiga puluhan, dengan badan yang sangat kurus, memakai respirator, napasnya terengah-engah, lingkaran matanya menghitam. Disampingnya seorang wanita tua berkebaya, menungguinya dengan raut muka sedih. Tangannya terlihat sigap menghapus keringat di wajah lelaki itu. Di depannya seorang yang lebih tua, bunyi napasnya menakutkan, grook..grook…grook. Kulit tubuhnya bagai tengkorak hidup, rupanya dia sendirian, tak tampak keluarga yang menungguinya. Sedang di perawatan wanita ini hanya dua orang pasien, temanku dan seorang perempuan tiga puluhan tahun. Badannya masih segar, boleh dibilang gemuk. Dia tak tampak sakit, tapi terlihat beberapa luka di tubuhnya. Waktu kutanya dia bilang terkena infeksi jamur kulit (kandidiasis).

Karena ada ibu temanku, kuputuskan keluar ruangan. Tujuanku bangku panjang yang ada di sebelah ruang perawat. Aku duduk, tak lama ada ibu-ibu tua yang keluar dari ruang perawatan laki-laki. Dia berjilbab. Wajahnya terlihat lelah. Basa-basi perkenalan membuat sang ibu bercerita panjang lebar. Adiknya dirawat sudah seminggu, karena diare akut. Dia terinveksi HIV karena narkoba, istrinya meminta cerai. Jadinya keluarga besar yang menanggung hidup dan pengobatannya. Dalam satu tahun sudah tiga kali bolak-balik ke rumah sakit yang ada di Kediri, dan terakhir harus dirujuk ke Surabaya. Pembicaraan kami terhenti begitu mendengar jeritan melengking dari keluarga pasien laki-laki. Ternyata ada yang meninggal, karena sudah masuk AIDS, dan penyakitnya sudah sangat parah begitu di bawa berobat. Aku tertegun dan miris mendengar semua kegaduhan di ruangan besar itu. Aku terduduk lemas.

Tiga hari selanjutnya aku sempatkan ke rumah sakit lagi. Sengaja aku tidak langsung masuk, berhenti dulu di ruang perawat. Hanya ada seorang perawat laki-laki, dan aku mengenalnya waktu dia memeriksa temanku. Aku coba ngobrol dengannya, dengan sebelumnya aku memperkenalkan diri. Dia bercerita, rata-rata pasien yang meninggal sudah terjangkit AIDS, CD4 darahnya dibawah 200, dengan penyakit Infeksi Oportunistik yang sudah parah, diantaranya karena Tuberkulosis (TBC), Pneumonia Pneumocystis (infeksi Paru-paru), CMV (citumegalovirus), infeksi yang mempengaruhi mata, dan Kandidiasis (infeksi dalam mulut/vagina). Rata-rata 10-15 orang meninggal perbulannya. Dia menjadi perawat sudah lima tahun. Dengan tulus ia bertugas, memeriksa kondisi pasien dan memberi support. Dalam bertugas ia selalu kenakan masker, sarung tangan, sepatu boot dan perlengkapan pengaman yang melindungi tenaga medis dari paparan HIV/AIDS. Lagi-lagi pembicaraan kami terhenti, begitu melihat salah satu keluarga pasien berlari kearah kami sambil terisak. Ia memberitahu keluarganya kritis. Kami berlarian menuju tempatnya dirawat. Dengan sigap Mas Perawat ini memeriksa denyut nadi pasien yang seruangan dengan temanku. Keluarganya berteriak histeris membuat gaduh. Alat infus yang terpasang di tangan pasien di pindah ke kaki, karena jarum infus tidak tembus di nadi tangan. Pasien itu benar-benar dalam kondisi sakaratul maut, beberapa menit kemudian dia tak bergerak sama sekali. Dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Aku kuatkan sahabatku, dia tampak shock. Keringat dingin membanjir di sekujur tubuhnya. Selang beberapa waktu, jasad perempuan muda itu telah dibawa ke ruang jenazah. Kami yang ada di ruangan itu saling menguatkan. Keluarga temanku bareng-bareng membaca surat Yasiin, diikuti olehnya.

Sehari berselang dari peristiwa itu, ibunya meneleponku, meminta untuk datang ke rumah sakit sore itu juga. Aku tak kuasa menolak permintaan perempuan ayu yang kuanggap ibuku itu. Beliau kabarkan sejak siang tadi, temanku diam seribu bahasa. Makan siang hanya disentuhnya sedikit. Badannya mendadak panas disertai keringat dingin yang terus membanjir. Tiba di ruangan, kulihat wajah temanku sangat pucat. Telapak kaki dan tangannya sangat dingin, nafasnya terengah-engah. Ibunya hanya bisa terisak. Keluarga lainnya juga berdatangan. Bergantian kami membacakannya kalimat thoyibah, membaca surat Yasiin, dan bacaan kalimat syahadat. Untuk beberapa waktu dia mengalami kritis. Matanya berkaca-kaca tanpa bisa berkata sepatah katapun. Dari tatapan matanya dia mengikuti bacaan Allah…Allah yang aku tuntunkan. Kami semua mengalami ketegangan yang luar biasa. Mas Perawat dengan Dokter jaga berusaha menyuntikkan sesuatu untuk membuat keadaan lebih stabil. Usaha itu berkali-kali dilakukan, hingga beberapa menit berlalu, dan akhirnya Mas Perawat memberitahu kami untuk terus menuntun sahabatku mengucapkan kalimat yang mengagungkan kebesaran-Nya. Dengan terisak Ibunya membisik di telinga sahabatku, “Ibu ikhlas Nak, bila Engkau pergi menghadap Allah. Maafkan Ibu, Bapak dan saudara-saudaramu yang lain ya, demikian juga kami, terutama Ibu akan selalu memaafkan semua kesalahanmu. Ibu ridho Nak.” Semua yang hadir menahan tangis, bergelayut dengan fikiran masing-masing. Beberapa detik kemudian, jantungnya berdetak untuk terakhir kali. Dan, Innalillahi wa inna ulaihi rojiun, sahabatku telah berpulang keharibaan-Nya tepat sesaat adzan Isya berkumandang.

Aku terdiam seribu bahasa, takdir telah memisahkan kami. Ada yang perih di dadaku. Beberapa hari ini aku saksikan beberapa orang meninggal di depanku karena HIV/AIDS. Aku hanya berharap semoga virus ini dapat di hambat penyebarannya, dengan peran serta semua elemen bangsa ini. Karena rata-rata yang menjadi korban adalah mereka yang masih usia produktif, baik laki-laki maupun wanita. Bangsa ini membutuhkan generasi penerus yang handal, sehat jasmani dan rohani. Ancaman narkoba, perilaku seks bebas dan penularan dari ibu HIV/AIDS ke bayinya  yang menjadi penyebaran virus ini harus di hentikan. Tidak semudah membalik telapak tangan memang. Tapi dengan membentengi diri masing-masing dari hal-hal di atas, Insya Allah kita tidak termasuk golongan yang beresiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Dan kampanye sosialisasi bahaya HIV/AIDS harus didengungkan di semua kalangan termasuk ibu rumah tangga. Termasuk cara pandang terhadap ODHA, cara penularan HIV/AIDS, cara menghindarinya dan pengobatan atau tindakan medis terhadap HIV/AIDS. Terpenting hindari segala bentuk diskriminasi terhadap ODHA, mereka juga punya hak yang sama sebagai warga negara dan warga masyarakat. Yang kita musuhi adalah virusnya, bukan pribadi orangnya. Mereka tetap saudara kita, yang wajib kita beri  dukungan untuk tetap berkarya dan memberi kontribusi pada bangsa dan negara ini.

di Post kembali dari tulisan

Sulistyorini / @sulistyorini_rini / http://sulistyorinisby.blogspot.com/2012/12/kisah-dari-ruang-upipi.html

 

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.