Anak dengan HIV. Sedikit sehingga pantas diabaikan?

author

ibu-anak-pita-smallKembali lagi terdengar kasus penolakan anak dengan HIV mendapatkan perawatan rumah sakit. Kali ini kasusnya terjadi di Jakarta Barat. Ya JAKARTA. IBU KOTA NEGARA! Jika di Ibukota saja seperti ini, bisa dibayangkan di daerah lain yang lebih terpencilPersoalan anak dengan HIV memang seakan tidak pernah selesai. Kerap kali ketika dalam pembicaraan program penanggulangan AIDS di antara stakeholder program penanggulangan AIDS, isu anak dengan HIV kerap kali terlewatkan dikarenakan masih adanya sikap menaggampangkan karena menganggap kasus anak dengan HIV jumlahnya tidak banyak. Lalu, jika memang jumlahnya yang terdiagnosa masih sedikit, apakah berarti pantas kita abaikan? Pertanyaan lainnya, apakah yakin kasus anak memang masih sedikit atau masih ada kelemahan dalam sistem pencegahan HIV dari orang tua ke anak kita?

Saat ini, angka kasus anak dengan HIV yang dilaporkan mencapai ?. Angka ini masih kecil sekali dikarenakan memang angka

Berikut saya kutipkan email dari seorang pemerhati HIV pada anak yang bernama Chris Green dalam sebuah emailnya ke mailing list menuliskan beberapa fakta tentang anak:

  1. Kematian anak berusia sampai dengan 14 tahun terus menerus meningkat. Pada tahun ini, 6,6% kematian yang dilaporkan karena AIDS terjadi pada anak tersebut.
  2. Diagnosis HIV pada anak berusia sampai dengan 14 tahun juga terus menerus meningkat. Lebih dari 3,6% orang yang diketahui HIV-positif di Indonesia adalah anak berusia itu.
  3. Kasus AIDS pada anak berusia sampai dengan 14 tahun juga terus menerus meningkat. Pada tahun ini, 4,7% kasus AIDS diketahui pada anak. Namun hanya 3,7% orang yang pernah menerima ART adalah anak.
  4. Ada laporan dari WHO pada IAS 2013 yang menunjukkan bahwa di Indonesia hanya 0,4% ibu hamil dites untuk HIV, dibanding dengan Kamboja 78% dan Viet Nam 39%. Menurut laporan, diperkirakan ada 14.194 ibu hamil HIV-positif di Indonesia pada 2011; hanya 534 (3,7%) yang terdeteksi. Karena jelas tidak dilakukan intervensi untuk mencegah penularan dari ibu-ke-bayi pada sisa 13.660 ibu, kurang-lebih 30% bayinya terlanjur terinfeksi, yaitu lebih dari 4.000 anak lahir dengan HIV pada 2011. Menurut laporan Kemenkes, kita baru menemukan hanya 3.000 anak terinfeksi HIV sejak awal epidemi!
  5. Walau estimasi jumlah orang terinfeksi HIV di Indonesia tidak diperbarui pada laporan Kemenkes ini (masih menunjukkan estimasi 2009, yaitu 186.257 Odha), pada laporan resmi yang saya terima, diestimasi ada 591.823 orang HIV-positif di Indonesia pada 2012. Baru 118.787 diketahui terinfeksi melalui KTS sampai dengan September 2013, yang berarti ada hampir 500.000 orang terinfeksi HIV di Indonesia yang tidak tahu statusnya. Jumlah orang yang diketahui HIV-positif melalui KTS (cat, KTS = Konseling dan Tes HIV Sukarela) pada triwulan pertama 2013 adalah 20.413. Kalau penemuan kasus berlanjut dengan angka seperti ini (anggap 30.000 per tahun), dibutuhkan 15 tahun lagi untuk menemukan semua yang diperkirakan terinfeksi pada 2012!
  6. Saya baru terima laporan mengenai program HIV-AIDS di Myanmar. Negara ini mempunyai jumlah penduduk 52,8 juta, kurang-lebih seperlima dari Indonesia. Pada estimasi terakhir, diperkirakan ada 188.956 orang dewasa yang hidup dengan HIV di Myanmar, berarti prevalensi kurang-lebih sama dengan Indonesia. Dari jumlah ini, 53.700 sedang menerima ART, yang dianggap 43% dari semua yang memenuhi kriteria untuk mulai, dan sepertiga dari semua yang diperkirakan hidup dengan HIV di Myanmar. Bandingkan di Indonesia: saat ini, hanya 36.483 orang dilaporkan sedang menerima ART, hanya 40% dari yang diketahui memenuhi persyaratan, dan hanya 6% (6% saja!) dari jumlah yang diperkirakan terinfeksi HIV.

Sementara data dari Kemenkes sendiri mengatakan dari laporan Kemenkes 2012, dari 43.624 bumil yang melakukan Konseling dan testing HIV ditemukan 1.329 (3%) HIV seropositif. Cakupan Program Pencegahan Ibu Anak (PPIA) pada bumil & anak masih rendah. Jumlah ODHA yang menerima PPIA tahun 2013 masih sangat rendah sebanyak 1517 orang.

 

Peran Pemerintah Pusat

Respon pemerintah sendiri dalam menangani kasus anak dengan HIV bisa dikatakan sangat minim. Cara paling mudah dalam melihat respon ini adalah dengan melihat adakah belanja program yang secara khusus ditujukan bagi program anak ini.

Berdasarkan data National AIDS Spending Assessment (NASA), sebuah instrumen yang melihat jumlah pembelanjaan sektor AIDS, didapati fakta yang mengejutkan.

Besar belanja program untuk anak yatim dan anak yang rentan di tahun 2011 hanya sebesar o,o2% dan tahun 2013 hanya sebesar 0.03% dari total seluruh belanja program AIDS.  Komponen perlindungan sosial (social Protection) termasuk perlindungan bagi anak yatim dan anak yang rentan hanya sebesar 1,63% di tahun 2011 dan 1,30% di tahun 2013 dari keseluruhan total pembelanjaan program anak. Yang lebih mengejutkan, dana yang amat minim tadi semuanya berasal dari pemerintah daerah. Pemerintah Pusat sama sekali TIDAK menganggarkan biaya bagi penanangan anak dan HIV.

Melihat fakta ini, #OBS yakin bahwa kasus penolakan anak dengan HIV yang terjadi di Tambora kemarin pasti akan terus berulang. Selama pemerintah kita tidak serius dan memandang entang persoalan ini, maka siaplah nurani kita tercabik-cabik ketika sering membaca kasus penelantaran atau diskriminasi pada anak dengan HIV ke depannya.

 

Apa peran kita?

Kita sendiri juga memilki peran. Kita bisa mencegah situasi ini terus berulang. Beberapa contoh caranya:

  1. Segera ajak pasangan kita (menikah atau pacaran) untuk tes HIV. Tahu lebih dini akan semakin baik. Banyak kasus dimana infeksi HIV baru terdiagnosa ketika anak baru saja dilahirkan dan terlihat dalam kondisi buruk barulah kemudian diketahui bahwa orang tuanya pun positif HIV. Jangan tunda lagi. Tes HIV Sekarang!
  2. Bagi yang ingin mempunyai anak, lakukan dengan perencanaan. Tes HIV sebelumnya. Jika positif, segera dapatkan program pencegahan HIV dari orang tua ke anak.
  3. Bila kita terdiagnosa HIV, segera ajak pasangan untuk tes juga. Konselor HIV akan bersedia membantu memberikan konseling pasangan jika kita tidak berani membuka status HIV kita kepada pasangan.

 

Yuk ah, jangan sampai lagi ada anak yang lahir dengan HIV dan stop diskriminasi pada anak dengan HIV!

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.