Apa kata @GinanKoesmayadi Tentang Anak Yang Hidup Dengan HIV

author

Mimin #ODHABerhakSehat yang kebetulan sedang berada di Bandung menyempatkan diri untuk mampir ke Rumah cemara. Disana, mimin sengaja ingin bertemu langsung dengan Ginan Koesmayadi, Salah stau founder dari Rumah Cemara. Bukan kembali membahasa mengenai sepak bola, tinju atau bagaimana rumah cemara dengan program harm reductionnya. Tapi kali ini mimin meminta Pandangan ginan, mengenai Anak dengan HIV atau anak yang memiliki orangtua dengan HIV.

Ginan saat bermain dengan anak anak di Lapangan Bawet, bandung
Ginan saat bermain dengan anak anak di Lapangan Bawet, bandung

Kebetulan, Ginan memiliki salah satu anak asuh yang kedua orangtuanya sudah meninggal karena HIV. Mimin tidak akan menyebutkan nama anak tersebut untuk menjaga kerahasiaan dan melindungi hak anak. Namun mimin tertarik untuk bertanya pada Ginan, karena kedekatan emosional-nya dgn beberapa anak yang hidup dengan HIV. Berikut ngobrol santai Tim #ODHAberhakSehat dengan Ginan Koesmayadi untuk Artikel #ApaKatamereka

Ginan, menurut kamu bagaimana Perkembangan anak ini saat ibunya masih ada dan setelah ibunya sudah meninggal?

Menurut saya, namanya dalam proses perkembanganbanyak tantangan. khususnya apalagi kalau orangtua kandungnya udah gak ada. Meskipun saya masih sangat bersyukur, karena masih ada neneknya yang peduli sama dia, sangat sayang sama dia. Justru perand dari neneknya lah yang harus mampu memenuhi figur ibu yang dibutuhkan dalam masa tumbuh kembang. Karena sebenarnya bukan ibu secara biologis lah yang dibutuhkan, tapi menurut saya dalam masa tumbuh kembang adalah figur ibu yang mampu memelihara anak untuk bertumbuh kembangmenjadi seorang yang mampu memahami cinta kasih. Kalo gua mah seperti itu pendapatnya, maksudnya adalah dibalik mereka punya orangtua ataupun tidak, itu tidak urgent, yang urgent adalah bagaimana seorang bapak mampu berperan sebagai bapak, dimanaibu mampu berperan sebagai ibu untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang si anak. Bisa orangtua kandung atau tidak, lebih baik orangtua kandung, namun dalam konteks seperti ini (hidup dengan anak dengan HIV) itu bisa di desain, bagaimana pola asuh bisa dibuat dengan lebih baik khususnya untuk perkembangan si anak.

Nah, Kalau di Bandung sendiri, kan ada beberapa teman2 yang punya anak positive maupun negative. Itu pendekatannya, apa yang dilakukan Rumah cemara?

Kami punya kelompok bermain anak anak, namanya”kelompok bermain jagoan bintang”. Saat ini memang masih terbatas masalah pendanaan dan human resource. Meskipun tidak rutin, hanya sebulan sekali, biasanya kami melakukan silaturahmi, contoh kegiatannya kami memberikan workshop tentang parentingkepada orang orang yang ada di sekitar anak dengan HIV atau anak yang terdampak oleh HIV AIDS tersebut. Jadi orang tuanya kami kasih workshop dan pelatihan bagaimana “parenting” agar si anak mampu diberikan ruang untuk bertumbuh kembang.

Bagaimana Respon mereka yang mendapat workshop/pelatihan?

Mereka sangat senang sekali, dan rutin datang. Cuma yang jadi permasalahan, seperti akses mereka jauh untuk datang, atau anaknya yatim piatu, didampingi neneknya namun sang nenek sudah terlalu tua. Hambatan yang sifatnya sangat teknis, namun cukup signifikan. Untuk pelatihan parenting itu yang bertanggung jawab rekan kami, Elly dan Isye untuk teknis kegiatan. Selain itu juga ada program susu dan nutrisi, tapi buat kami yang juga tidak kalah penting adalah dukungan psikososial, secara langsung oleh Rumah cemara adalah Parenting Skill tadi.kedepannya kita juga pengen punya kelompok bermain untuk mereka yang cukup mampu memelihara tumbu kembang anak anak, baik interaksi sesama anak, maupun interaksi dengan orangtua.

Kalau bicara kondisi ideal, (Walaupun gak ada yang benar benar ideal sih). kalau spesifik anak dengan HIV, menurut ginan, harusnya seperti apa?

Saya rasa tidak harus ada pembedaan. Saya percaya pendidikan inklusif itu penting, apakah kita hidup dengan HIV maupun tidak, apakah Narkoba ataupun tidak, saya mah gak peduli, yang penting adalah ruang ruang pendidikan bagi anakharus mampu mengakomodir perbedaan tersebut tidak memandang status HIV, RAS dan apapun, sejatinya pendidikan bagi anak. Saya rasa, tidak yrgent untuk membuat sekolah khusus anak ODHA, yang lebih penting ya itu pola asuh bagi anak agar mampu mempunyai kemampuan menghadapi permasalahan dengan segala realitasnya, kemampuan seperti itu yang harus dikuatkan.

Kalau Pemerintah kira kira harus seperti apa nih nan, untuk persoalan anak dengan HIV?

Kalau pemerintah mah saya gak tau. Suka bingung kalau udah soal pemerintah. Yang jelas, upaya upaya yang kita lakukan tentunyaharus bekerja sama dengan pihak pihak. Karena tidak ada departemen psikososial, departemen sosial mah ada, tapi psikososial gak ada. Itupun yang kami juga sedang kami tekan. Saya rasa dengan upaya upaya kecil ini, semoga dapat menghasilkn sesuatu. Karena akan mah gak punya salah, yang stupid mah Adult (orang dewasa). Anak mah kumaha yang tua, (anak itu bagaimana orang tuanya).

Cara yang lebih sistematis untuk membantu anak dengan HIV, seperti apa?

Sama seperti pendekatan pengorganisasian populasi kunci, mungkin awalnya memang harus dukungan per individu, setelah itu mereka harus dikelompokan. Sekuat apa, khususnya kita sebagai komunitas memberikan dukungan mereka secara individu? Nah, biarkan mereka membangun support system diantara mereka sendiri, itu yang idealnya. Dan nanti upaya advokasinyadilakukan oleh mereka, karena mereka yang terdampak langsung. Nah kalau anak ini konteksnya, orang orang dewasa yang hidup di sekitar mereka yang harus memiliki peran lebih untuk mereka. Kalau di kota bandung sendiri, kami mulai dengan Nutrisi yang pendanaannya dari APBD kota Bandung. Yang mengelola Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, dan Rumah cemara yang menyalurkanya.

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.