Aku AIDS, Dre

author

friends-talking-“Aku AIDS…”

Kata-kata Mora selalu terngiang di kepalaku sejak pertama kali ia mengakui dirinya adalah ODHA. Shit Dinda, kenapa sih nggak bilang dari dulu? Kenapa harus sekarang? Kenapa disaat lima bulan lagi kita akan menikah?

AIDS ini bukan penyakit ringan. Ini mematikan. Bagaimana kalau ternyata aku sudah tertular? Oh god, aku harus gimana…

“Terus lo mau gimana sekarang?” dia bertanya pelan namun tegas. Setegas pikiranku yang tengah mengawang dalam kebimbangan.

“Nggak ngerti Lin. Gue bingung harus gimana,” aku membakar sebatang rokok. Menghembus asapnya dan mengalihkan pandangan ke jalan raya.

“Gini Dre, pasti ada alasan kenapa Mora nggak berani cerita ke lo soal penyakitnya. Sekarang yang pasti, lu tenangin diri lu dulu. Pikirin semua yang terbaik. Tapi jangan kelamaan.”

“Gue shock Lin. Dua tahun pacaran dan dia baru bilang sekarang. Gue ngerasa dibohongin tau nggak lo? Dua tahun dan lima bulan lagi kami akan menikah. Kenapa sekarang?”

Well… Gimana nggak kaget. Mora memberitahu berita besar ini saat kami tengah sibuk fitting kebaya yang pas untuk pernikahan nanti.

Seminggu sebelumnya, memang dia tampak aneh. Gelagatnya seperti mengkhawatirkan sesuatu. Mora seperti orang lain. Lebih sering diam. Tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan selalu bilang kurang enak badan.

Aku pikir dia hanya terkena Pra Wedding Syndrom yang kata orang selalu jadi fase-fase di mana rasa takut, tegang, khawatir dan mempertanyakan diri siapkah aku menikah? Melanda para calon pengantin wanita.

Tapi ternyata… Hari itu… Dia mengakui semuanya.

“Aku AIDS, Dre.”

“Kamu apa, Ra?”

“Aku ODHA.”

Sesaat, rasanya aku ingin melepas genggaman tangannya. Tapi tidak bisa. Terlalu kaget membuatku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu jangan becanda ah.”

“Aku nggak becanda. Aku AIDS dan sudah tiga tahun.”

“Kenapa baru bilang sekarang?”

“Aku takut. Maafin aku. Aku takut kamu ninggalin aku.”

“Tapi lima bulan lagi kita menikah. Apa ada yang lebih buruk dari informasi itu sekarang ini, Ra?”

“Aku tahu, Dre… Aku udah pikirin semuanya. Seminggu lebih aku nggak bisa tenang mikirin ini dan sekarang aku udah siap untuk semuanya.”

Seminggu kemarin? Tunggu dulu. Berarti perubahan sikapnya seminggu kemarin itu bukan karena Pra-Wedding Syndrom?

“Aku nggak tahu, Ra. Aku bingung jadinya.”

“Mumpung kita belum bikin undangan. Kebaya juga baru fitting doang. Tempat dan catering juga baru uang muka. Mungkin kamu harus pikirin mateng-mateng kamu siap menikah denganku atau nggak, Dre.”

Dan… begitulah aku dan Mora… satu minggu berlalu begitu saja setelah fitting kebaya dan pengakuan mengejutkan itu dan aku masih saja belum berani mengambil keputusan. Butik terus menelepon. Katering dan tempat pun tidak sempat aku pikirkan. Mau gimana lagi, nasib pernikahan ini saja aku tidak tahu akan seperti apa.

“Gimana kalau gue juga AIDS, Lin?” aku bertanya khawatir. Sementara sahabat satuku ini asik saja melumat waffle ice cream vanilla di atas meja.

“Lo udah pernah berhubungan sex sama dia?”

“Belum sih.”

“Yaudah nggak usah takut. Lu aman kok,” suaranya santai tapi menunjukkan keyakinan. “Kok lu bisa bilang gitu?” mataku memicing. Terkadang Linda ini suka asal kalau ngomong. Aku masih ingat waktu kami ketahuan nyontek waktu jaman-jaman Ujian Akhir Sekolah dulu. Aku yang khawatir setengah mati karena ketahuan sama pengawas dan dia santai sekali. “Tenang, Dre… kita pasti lulus.”

“Gini ya. Lo tau nggak gimana caranya penularan virus HIV itu?”

“Ya banyak kan? Pokoknya yang gue tau AIDS itu menular dan bahkan bisa mematikan. Itu kan nggak ada obatnya. Gue takut.”

“Ye si gondrong… Gue kan nanya, lo tau nggak gimana cara penularannya. Jangan asal nebak-nebak,” matanya berubah serius.

“Iya sorry sorry. Sebenarnya gue nggak tau banyak. Kata orang ada mitos-mitosnya tuh kan kaya nggak boleh makan bareng, ciuman, ah banyak deh, gue nggak tau.”

“Parah lo. Nih, HIV itu menular Cuma dari tiga cara. Berhubungan sex yang tidak aman, transfusi darah dengan jarum yang sama, satu lagi dari ibu ke anak. Biasanya sih pas hamil terus melahirkan. Lewat ASI juga kalau nggak salah. Jadi kalau lu belum berhubungan sex sama dia ya masih aman lah.” Perempuan ini ya… selalu bisa terlihat pintar dan tenang disaat-saat genting.

“Yah tapi gue nggak bisa berhubungan sex sama istri gue dong?”

“Masih bisa lah dodol banget sih lo. Gw lupa apa namanya, tapi ada obat untuk memperkecil resiko tertular saat berhubungan sex. Buat yang penularan dari ibu ke anak juga kayanya ada deh cara memperkecil resikonya. Duh gue lupa, Dre. Mendingan lo konsultasi sama dokter aja.”

Bukannya tenang, aku semakin bingung.

“Sekarang yang jadi pertanyaan gue, lo masih mau nikahin dia nggak? Itu aja Dre. Lo udah tau resikonya. Lo udah tau pencegahannya. Sekarang lo mau apa?” tanyanya serius. Air mukanya berbeda kali ini. Maklum, kami bertiga bersahabat cukup dekat. Hanya saja, aku dan Mora terjebak dalam percintaan antar sahabat. Untung saja ada Linda yang bersedia menjadi konsultan cinta kami setiap saat.

“Entahlah… Gue cinta banget sama Mora.”

“Cinta aja nggak cukup, Dre. Dari awal lu udah harus siap dengan semua kemungkinan yang terjadi. Tanggung jawab sangat dibutuhkan. Nggak gampang loh menikah dengan ODHA. Gue aja kaget kenapa Mora nggak pernah cerita ke gue soal ini. Padahal gue yakin banget kalo gue kenal lo berdua. Coba pikirin baik-baik deh.”

“Iya gue paham. Pulang yuk. Besok gue coba ketemu Mora, Gue kangen banget.”

Aku menghembuskan asap terkahir. Langit sudah sangat hitam. Sepertinya akan turun hujan. Kumatikan rokok dalam asbak dan kami beranjak pulang ke rumah masing-masing.

—–

Ditulis oleh Danny Kosasih, wartawan dari portal berita lingkungan hidup

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.