Cerita Mereka, “Kekuatan Hati Dwi”

author

xxTidak pernah terpikir dalam benak Dwi, bahwa Putra semata wayangnya dapat terbaring di Kasur rumah sakit yang penuh sesak ini. Adi, 6 tahun baru saja terlelap setelah dokter memeriksa suhu tubuhnya. Selang yang tertancap di hidungnya, berfungsi untuk jalan masuk obat karena bocah laki-laki ini kesulitan menelan obat. Infus yang tertancap di pergelangan tangan mungilnya, mengalirkan cairan untuk menambah energi di tubuhnya.

HIV, adalah sebuah virus yang sama sekali tidak terbayang dalam pikirannya akan menyerang seluruh kekebalan dalam tubuhnya, dan juga menginfeksi Adi. Tanpa pernah bertanya kenapa, Dwi ikhlas menjalani kehidupan barunya bersama sang putra, setelah beberapa bulan yang lalu sang suami meninggal dunia.

Hari ketiga terbaring di salah satu bangsal khusus anak-anak, Dwi lebih banyak terdiam dan memikirkan Adi. Semua makanan yang masuk ke tubuhnya sifatnya hanya formalitas, tidak sedikitpun rasa enak dikecap lidahnya. Makanan-makanan tersebut hanya masuk dan bekerja sebagaimana mestinya tanpa diharapkan oleh si empunya tubuh. Bagi Dwi, yang terpenting baginya adalah sang putra. Dia ingin Adi segera pulih, dan bisa kembali pulang kerumah, kembali bermain dengan anak-anak di kampong tempatnya tinggal.

Bayang-bayang stigma dan diskriminasi terpampang jelas di mata Dwi, saat dia membaca begitu banyak berita dan jurnal yang menyebutkan bahwa orang yang hidup dengan HIV merupakan seorang pendosa. Keinginannya untuk pulang menciut, Dwi ingin lari dari kenyataan hidupnya. Namun tangan kecil Adi yang seketika menggengam jemari dwi, menganggetkannya saat anak itu bertanya

“Ma, kapan kita pulang?”

“Nanti mama akan tanya sama dokter ya. Semoga besok kita sudah boleh pulang”

“Adi mau pulang, tapi mama janji gak boleh nangis ya”

Dwi terkejut mendengar pernyataan sang anak yang ternyata sering menangkap basah dirinya sedang menangis setiap malam tiba.  Padahal dirinya berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya, dia ingin tampak tegar dan kuat dihadapan putranya. Kemudian, dia bertekad, dia tidak akan menangis, meski rasanya kini Dwi hidup tanpa jiwa. Adi lah jiwa-nya, entah apa yang terjadi kalau Adi tidak ada.

Namun pagi itu, di hari keempat Adi terbaring di rumah sakit. Seorang perempuan muda, masuk kedalam ruangan dan menghampiri Dwi. Dwi bingung, hanya ibu dan adiknya yang mengetahui keberadaan serta sakitnya.

“Halo mbak Dwi, perkenalkan saya Sally. Saya pendamping sebaya di RS Bakti Makmur”

Dwi terdiam, memperhatikan perempuan manis berkacamata yang menyapanya dengan riang gembira itu. Siapa perempuan ini, apa maunya. Batin Dwi dalam hati. Namun Dwi tidak menyangka, disanalah titik awal kehidupan baru Dwi dimulai, saat dirinya belajar dari kesalahan dan kebesaran hati seorang Sally.

***

Hari ini, 5 tahun sejak Adi dirawat di Bangsal rumah sakit itu. Kini, Adi sudah berusia 11 tahun. Tidak Nampak lagi gurat kesedihan dalam wajahnya. Dia yang gemar bermain sepak bola, kini berlari kencang tanpa takut akan hidup yang merongrong keluarganya dengan sejuta kepahitan.

Pertemuan dengan Sally hari itu, membuka mata hati dwi. Bahwa hidup dengan HIV bukanlah akhir dari kehidupannya. HIV membuatnya lebih kuat, karena virus ini mengajarkannya makna kasih sayang. HIV mengajarkannya makna ketulusan hati, dan arti dari kehidupan. Semenjak dirinya terinfeksi HIV, Dwi dan Adi menjadi lebih dekat, ikatan batin antara ibu dan anak yang telah mengakar itu, semakin kuat karena tidak ada lagi benteng yang dapat melindungi diri mereka selain kasih sayang.

HIV membuatnya menjadi pemberani. Karena virus ini, tidak berhasil menaklukan keteguhan hatinya untuk tetap bertahan hidup dan tidak menangis walau sulit. Dwi berlari mencari jalan keluar dari labirin yang ada di kepalanya, sehingga dari tempat yang sangat gelap, dirinya dapat menemukan cahaya kecil di dalam hatinya.

Meski seluruh dunia tetap membencinya, bahkan jijik dengan virus yang mengalir di darahnya. Dwi tidak peduli. Dirinya percaya, bahwa Alam semesta, mencintainya dan mengijinkannya untuk tetap hidup dan menghirup oksigen dari paru-paru di tubuhnya. Dwi ingin tetap hidup, dan mati dengan bahagia.

—–

Ditulis oleh seorang perempuan yang tidak mau disebutkan namanya.

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.