Ada dua lilin baru yang menyala…….

admin

Saya mempunyai seorang teman yang terinfeksi HIV – sebut saja namanya Mince…dalam kesederhanaanya ia berbagi cerita ke kami.

Ketika saya meminta izin yang bersangkutan – untuk saya dapat berbagi pengalamannya, ia pun tidak berkeberatan.

Diawali…

Tahun 2011, seorang teman lainnya datang bersama Mince untuk bertemu saya, lalu menceritakan tentang problema yang dialaminya…yaitu Mince seorang mahasiswi yang duduk di semester akhir di sebuah perguruan tinggi berlatar pendidikan agama – DIPECAT -, karena ia dilaporkan oleh salah seorang rekan mahasiswi lainnya bahwa ia (Mince) hamil dan baru melahirkan tanpa status pernikahan. Mince telah terjebak laki-laki bersuami yang mengaku bujangan, dan meminta pendapat pada saya untuk mencari jalan keluarnya. Sayapun merasa buntu untuk memecahkan permasalahannya, saat mendengar kelanjutan ceritanya , bahwa ia memang sudah menandatangani perjanjian tidak boleh hamil sepanjang dalam pendidikan, saat diterima sebagai mahasiswi di perguruan tinggi tersebut.

Walau saya kecewa, saya tdk dapat berbuat apa-apa. Saran saya adalah: lakukan pendekatan pada salah seorang dosen yang bisa mengerti persoalanmu.

Ketika beberapa kali saya bertemu Mince dan menanyakan tentang kasus pemecatannya, ia dengan tabah mengatakan bahwa ia sedang menunggu surat pemecatan dari akademik. Saya hanya terdiam seribu bahasa.

Waktu pun berlalu terasa cepat..tak lama dari berita tersebut…Mince datang kembali bercerita , bahwa dalam beberapa hari kedepan ia harus berurusan dengan Polsek setempat. Adapun permasalahannya adalah, istri sah dari laki-laki yang menghamili Mince menuntut denda pada Mince dan keluarganya karena “sengaja” merebut suami orang dan juga meminta pembuktian bahwa anak tersebut adalah benar darah daging dari suaminya, melalui pemeriksaan golongan darah.

Dalam keterbatasan saya, saya mencoba menjelaskan secara garis besar bahwa belum ada pembuktian sebuah keturunan manusia dari hasil pemeriksaan golongan darah. Hal yang lazim digunakan untuk pembuktian serupa itu adalah dengan pemeriksaan Genetik yang belum bisa dilakukan di Papua. Terkait hal lainnya, saya berjanji jika memang perkara tuntutannya tidak dapat diselesaikan secara damai dan berujung pada persoalan pidana – maka saya akan merujukkan Mince pada sebuah kelompok pemberdayaan perempuan, yang memiliki layanan bantuan hukum.

Ketika beberapa hari berlalu, Mince pun mengirimkan sebuah sms kepada saya bahwa perkaranya dianggap berakhir karena pihak yang menuntut tidak pernah hadir saat dipanggil kepolisian.

Sore tadi, tanpa terencana Mince datang ke tempat kami. Seperti biasa kami pun berbagi cerita. Ketika saya menanyakan kembali tentang status perkuliahannya…ia pun menjawab dengan sumingrah..bahwa ia tidak jadi di pecat dan diminta meneruskan perkuliahannya oleh pihak akademi.

Apa pasalnya?

Suatu hari saat ia ke kampus untuk meminta surat pemecatatannya, ia bertemu salah seorang dosennya,sekaligus pemuka salah satu agama. Beberapa tahun lalu ia juga sempat mengecam orang terinfeksi sebagai pendosa dalam sebuah seminar- dimana beliau sebagai salah seorang nara sumber. Sang dosen pun menanyakan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Mince. Dengan polosnya ia menceritakan tentang keterjebakannya oleh lelaki hidung belang yang membuat ia hamil – dan tidak bertanggung jawab – serta menyeretnya ke kepolisian. Entah memang sudah mendengar tentang status HIV mahasiswinya atau memang karena ketajaman naluri sang dosen agama tersebut.. ia pun menanyakan kasus-kasus lain seputar diri Mince.

Mince pun dengan berani membuka statusnya sebagai orang yang terinfeksi HIV.

Saya pun menahan keterkejutan dan ketertarikan dari kelanjutan cerita Mince.

Dari diskusinya dengan sang dosen, akhirnya sang dosen menyuruh Mince untuk melanjutkan perkuliahannya. Dia berjanji akan meminta bantuan di tingkat rektorat untuk membatalkan keputusan pemecatan terhadap Mince…! Pesan yang tertinggal dari sang dosen – sebagai mana yang diceritakan Mince – “ Cobalah secara perlahan.. kamu ceritakan duduk persoalan dan status HIV mu pada dosen-dosen yang mengajarmu. Agar mereka bisa mengerti keadaanmu”. Mince pun menyetujuinya. Ia pun secara bertahap menceritakan tentang kehidupannya dan membuka statusnya pada dosen mata kuliahnya dan juga membuka statsus HIV-nya ke rekan sekampusnya, dengan tujuan ingin mengetahui respons dari mereka, jelas Mince.

Mince pun sekarang diperkenankan menyelesaikan perkuliahannya- setelah membayar tunggakan kuliahnya, dibantu salah satu LSM Perempuan melalui salah seorang yang pernah mengenalnya saat menghadiri pertemuan Lintas Agama di scope nasional.

Dari keterbatasan saya, saya tercenung haru dan kagum akan keberanian dan ketulusannya. Bagi kita kiranya ini bisa menjadi salah satu gambaran / contoh orang terinfeksi yang berdaya dan mampu – ketika realitasnya ia harus “bertarung sendiri ” di tengah keterbatasan kelompoknya.

Mince…semoga putra yang engkau lahirkan , di kemudian hari bangga atas perjuanganmu sebagai seorang perempuan yang HIV yang tegar. Amin.

Saya juga tersenyum senang mendengar perubahan paradigma dari sang dosen yang dulu mengecam orang yang terinfeksi…

Setidaknya … ada dua lilin baru yang memberi secercah harapan dari timur …

Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua. Salam.

Medio, 10 Okt 2011, Jayapura

Robert Sihombing, Jayapura.

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.