Haruskah adek memakai topeng ke sekolah?

author

Tulisan Oleh Natasya Evalyn Sitorus

Beberapa hari sebelum Hari AIDS Sedunia 2013, seorang nenek memutuskan untuk berbicara pada dua orang cucunya tentang penyakit apa yang sebenarnya diidap oleh cucunya yang bontot. Sore itu setelah bangun tidur, si nenek memanggil dua cucunya dan mulai bercerita pada si kakak dan si adek. Nenek menjelaskan mengapa selama ini dia terkesan lebih mempedulikan kesehatan di adek daripada si kakak. Si nenek berkata, “ Di dalam darah adek ada virus. Virusnya bisa bikin sakit. Makanya harus terus minum obat teratur, supaya virusnya tetap tidur. Kalau tidak minum obat, virusnya akan bangun dan adek gampang sakit.” Si nenek berpesan, “Ini hanya rahasia kita bertiga ya, jangan cerita-cerita ke orang lain. Kita harus saling mengingatkan dan saling menguatkan.” Sore hingga malam itu, entah apa yang beterbangan dalam benak si adek dan si kakak.

Dua hari setelah itu, si nenek diminta dokter untuk datang ke rumah sakit  bersama si adek untuk pemeriksaan tambahan. Hari itu si adek ada ujian, tetapi dokter meminta si nenek untuk memohonkan ijin ke sekolah. Siang itu, si nenek datang ke sekolah dan pamit dengan guru yang mengawasi ujian. Si guru bertanya, “Si adek emang sakit apa Nek harus ke RS?” dan nenek menjawab, “Si adek sebenarnya sakitnya HIV. Dia tertular dari ibunya.” Si guru mengijinkan si nenek dan si adek untuk pergi, tapi entah apa yang tersisa di benak si guru. Sepulang dari RS, si nenek mampir ke rumah salah satu orangtua teman sekelas si adek, hendak mengambil bahan fotokopian untuk ujian besok. Si ibu bertanya, “Nek, emang adek sakitnya apa mesti sering ke RS?” dan lagi nenek menjawab, “si adek sakit HIV”. Si ibu cukup terkejut, dan bertanya bagaimana seorang anak kecil bisa terinfeksi HIV, dan nenek menjelaskan dengan bercerita bahwa si adek dari kecil menyusu dari ibunya yang sudah terinfeksi HIV. Setelah itu si nenek pulang. Lagi, entah apa yang beterbangan dalam benak si ibu.

Keesokan harinya, sepulang sekolah, si adek melapor pada nenek, “Nek, kok teman-teman adek di sekolah pada aneh ya? Mereka ga mau maen sama adek, pada bisik-bisik katanya adek ada virusnya.” Dan si nenek terkejut sambil berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, menghibur adek, “Sabar ya dek, kalo mereka ga mau maen sama adek, biarin aja. Adek yang kuat yah. Kalo ga diajak maen bola, adek jadi supporter aja”, sambil mengusap air matanya yang tidak lagi bisa ditahan. Sore itu juga si nenek menghubungi kami, bercerita soal kejadian itu.  Apa yang harus dilakukan?

Jumat siang, si nenek hendak mengantarkan makan siang ke sekolah adek saat salah satu teman kami mampir ke sana. Si teman akhirnya mengantarkan nenek ke sekolah. Si teman sekalian ingin bertemu dengan si adek. Bukan si adek yang ditemui, tetapi ketua komite sekolah dan pihak sekolah yang diwakili oleh kepala sekolah yang muncul dan memanggil si nenek, mencoba meminta penjelasan tentang kabar bahwa si adek terinfeksi HIV. Si nenek meminta si teman untuk membantunya menjelaskan. Si teman kami berupaya senetral mungkin dalam menjelaskan pada komite sekolah dan kepala sekolah. Jumat sore itu akhirnya muncul permintaan dari pihak sekolah untuk sesegera mungkin mengadakan penyuluhan bagi orangtua murid yang sudah semakin mendesak sekolah untuk mengeluarkan si adek karena mereka ketakutan anak-anaknya akan ketularan HIV.

Setelah berdiskusi, Lentera Anak Pelangi pun memutuskan untuk mempersiapkan sebuah langkah advokasi dan edukasi bagi orangtua murid di sekolah tersebut. Kepala sekolah meminta agar penyuluhan diberikan pada hari Selasa, 3 Desember 2013 pukul 9 pagi di aula sekolah, dan kepala sekolah telah mengundang 100 orangtua murid.

Selasa, 3 Desember 2013 kami menuju sekolahan. Pagi itu aula sekolah yang adalah sebuah ruang serbaguna (juga digunakan sebagai lapangan indoor) sudah dialasi karpet, sekitar 50 orangtua murid duduk di atas karpet merah itu. Peralatan penyuluhan sudah kami siapkan, dan beberapa selebaran informasi HIV sudah kami bagikan untuk dibaca. Pukul 9.30 kami memulai. Acara dibuka oleh kepala sekolah dengan mengatakan bahwa di sekolah tersebut ada anak yang diketahui berstatus HIV, sehingga orangtua perlu dikumpulkan untuk diedukasi lebih lanjut. Pagi itu materi dibawakan oleh seorang rekan dokter dari KPAP DKI Jakarta. Seperti diduga, banyak orangtua yang sama sekali tidak mengetahui bagaimana HIV bisa menular. Mereka banyak  bertanya. Si teman dokter dengan bersemangat menyampaikan pesan-pesan bahwa HIV tidak mudah menular, dan tidak ada benarnya sama sekali untuk mendiskriminasi anak dengan HIV. Setelah hampir 1,5 jam, materi pun selesai disampaikan berikut dengan diskusi dan tanya jawab. Sebelum ditutup, seorang teman lagi dari Dikdas Jakarta yang juga hadir menitipkan pesannya untuk tidak mendiskriminasi, walaupun ternyata si ibu tidak memiliki informasi yang tepat juga tentang penularan HIV.

Setelah acara itu kami bersalam-salaman dengan orangtua murid. Senang mendengar komentar mereka, “Terima kasih yah untuk informasinya, kami jadi tahu sekarang bagaimana penularan HIV..” . Tak lupa kami berpesan untuk tidak lagi mendiskriminasi anak yang terinfeksi HIV dan membiarkan anak-anak itu secara normal bermain seperti teman-temannya yang lain. Kami juga berterima kasih kepada kepala sekolah atas kesempatan yang diberikan untuk bisa masuk dan menyampaikan informasi HIV itu kepada orangtua murid. Kami pamit dan melanjutkan perjalanan ke rumah si nenek.

Siang itu hujan, kami tiba di depan rumah nenek. Si adek sedang tidur-tiduran di lantai, sementara si kakak baru selesai mandi, sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Kami duduk di lantai, dan mengajak si adek untuk duduk bersama-sama kami. Si adek ceria sekali. Kami mulai bertanya, bagaimana dengan teman-teman di sekolah. Katanya sebagian teman-teman, terutama teman yang perempuan tidak mau ngobrol dengan si adek, hanya teman-teman laki-laki saja yang sudah mau main lagi. Lalu kami mulai bertanya kepada si adek, apa yang dia rasakan saat nenek bercerita tentang penyakit adek. “Panik”, itu jawabnya. Sebenarnya kami tidak mengerti kenapa dia berkata reaksinya panik dan meminta si adek bercerital. Si adek hanya cengengesan, tampaknya tidak paham betul apa yang barusan dia katakan. Si adek kemudian mulai bercerita ketika kami tanya, apa yang dikatakan nenek  tentang penyakit adek. “Kata nenek, di badan adek ada virus. Namanya HIV. Kalau adek teratur minum obat, virusnya akan terus tidur, tapi kalau tidak minum obat, virusnya akan bangun dan adek akan gampang sakit.” Kami tersenyum.

Lalu nenek bercerita bahwa beberapa hari lalu itu, si adek meminta nenek untuk membelikannya topeng. “Katanya biar ga malu, jadi pake topeng saja”, jelas si nenek. Si adek mengambil topengnya, dan dengan bangga memakai dan memamerkannya pada kami. Miris, seorang anak 8 tahun yang belum terlalu mengerti tentang HIV dan diskriminasi di baliknya bisa merasa malu dan ingin bersembunyi di balik topeng itu.

Setelah kami berbincang, kami permisi pulang. Perjalanan pulang kami diisi dengan pertanyaan yang melayang-layang dalam kepala : apakah besok si adek akan kembali bisa bermain dengan teman-temannya? Apakah orangtua benar-benar dengan komitmen mereka untuk tidak mendiskriminasi? Apakah kasus-kasus seperti ini harus terjadi lagi di sekolah lain pada anak lain? Apakah kementerian pendidikan tidak punya langkah untuk mencegah ini terjadi? Ini tanggung jawab siapa?

Tak terbayangkan jika si adek benar-benar pergi sekolah dengan menggunakan topeng itu. Mungkin di dalam hatinya dia merasa nyaman bahwa orang tak perlu melihat wajahnya. Tapi itukah yang dia harapkan  dari sebuah lingkungan bernama sekolah?

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.