Pemerintah Republik Indonesia Mengabaikan Anak Yang Hidup Dengan HIV

author

yH4l4liuuz
sumber : dokumentasi metro tv solo

Peringatan hari AIDS 1 Desember 2015 silam, menguap bagai angin yang tertiup di Kota Solo, kota yang dikenal dengan kearifan lokal dan keramahtamahan warganya. Hal ini begitu miris, mengingat tiap kali menjelang bulan Desember, begitu banyak kegiatan sosialisasi dan promosi informasi HIV AIDS di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Adalah sekumpulan orang yang memiliki jiwa yang mulia, berdedikasi untuk membantu lebih banyak ODHA di Solo. Dengan segala keterbatasan, Yunus dan kawan-kawan membangun Rumah Singgah Lentera, yang kini memiliki 9 orang anak yatim piatu yang hidup dengan HIV untuk di asuh. (Baca juga: 6 tahun dedikasi Lentera Anak Pelangi).

Perjuangan dan niat baik Yusuf, tidak berbanding lurus dengan pemahaman dan penerimaan masyarakat sekitar tentang persoalan HIV AIDS. Jangankan untuk bermain dengan lepas, anak-anak di Rumah Lentera kerap kali mendapatkan penolakan dan pengusiran. Kejadian ini berawal dari rumah kontrakan yang akan habis masa sewa-nya, dan pengurus harus segera mencari rumah baru untuk mereka dan anak-anak asuh. Sebuah rumah kontrakan baru di daerah kedung Lumbu menjadi pilihan mereka untuk pindah.

Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, pengurus Rumah Lentera mengadakan sosialisasi kepada warga RT04/RW04 kedung Lumbu tempat mereka akan mengontrak rumah. (Baca juga: HIV dan kontak sosial). Sosialisasi diadakan pada 26 November 2015, mengambil tempat di salah satu Masjid di Kedung Lumbu. Warga setempat diundang untuk diberikan sosialisasi oleh dokter dari Puskesmas Sangkrah. Dalam sosialisasi tersebut hadir pula perwakilan dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Solo, Warga Peduli AIDS (WPA) dari kelurahan setempat, Tokoh agama, serta tokoh masyarakat.

Menyedihkan, hasil dari sosialisasi ini nihil. Warga tetap bersikukuh untuk menolak anak-anak Rumah Lentera, dengan satu alasan yakni takut tertular HIV AIDS. Seluruh pengurus tidak patah semangat dan kembali ke rumah dengan sedikit harapan tersisa, bahwa akan ada kabar baik di hari esok untuk anak-anak ini.

Pada 3 Desember 2015, para pengurus Rumah Lentera (Yunus, Yudi dan Puger) dipanggil ke kelurahan Kedung Lumbu untuk koordinasi lanjutan. Hal ini dikarenakan ada warga masyarakat yang melapor pada pihak kelurahan tentang rencana kepindahan mereka yang tetap akan dilaksanakan. Pada pertemuan koordinasi ini, hadir diantaranya anggota musyawarah pimpinan kecamatan (MUSPIKA) pasar Kliwon yakni Camat, pihak Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS), perwakilan RT dan RW.

Hasil serupa muncul dalam pertemuan koordinasi hari itu. Dimana mereka tetap meminta pengurus Rumah Lentera untuk tidak pindah kesana karena penolakan warga yang begitu kuat. Pihak-pihak tersebut juga meminta pengurus Rumah Lentera untuk kooperatif dengan mengikuti permintaan warga, agar tidak terjadi gesekan sekaligus untuk keamanan daerah menjelang pilkada Serentak di 9 Desember 2015. Janji-janji banyak pihak termasuk Camat untuk membantu mencarikan solusi tinggalah sebuah janji.

Pada 6 Desember 2015, pengurus berencana untuk melihat rumah kontrakan di Kedung Lumbu bersama beberapa anak-anak asuh. Alih-alih datang dengan damai, mereka menghadapi kenyataan tragis bahwa akses masuk daerah tersebut telah di blokade warga. Seperti hendak menghadapi musuh bersenjata, warga memasang palang dan menggelar sejumlah poster dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati, seperti “Lindungi Anak-anak warga kami”; “Kedung Lumbu Bukan Kampung HIV”; “Ojo Sembrono”; “Orang yang baik tidak membuat tetangga was-was”; dan masih banyak lagi. karena kondisi yang tidak kondusif ini, kembali dilakukan koordinasi dengan tokoh setempat yang hasilnya tetap nihil, warga tetap menolak.

Berkat bantuan salah satu ulama, pengurus Rumah Lentera, berhasil mengontrak sebuah rumah yang daerahnya dirahasiakan demi keamanan anak-anak. Sembilan orang anak yang terdiri dari 5 Balita berusia 2-5 tahun dan 2 anak-anak berusia 10 dan 13 tahun ini kini bisa bernafas lega untuk sementara karena bisa mendapat tempat yang aman untuk berteduh. Namun, sampai saat sekarang belum ada komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah kota solo, terkait penolakan yang mereka alami. Karena kembali berhembus kabar burung, bahwa sudah mulai ada gerakan dari warga setempat untuk kembali menolak keberadaan Rumah Lentera.

Mungkin pemerintah lupa, akan sederet undang-undang perlindungan anak yang telah dibuat. Atau pekerjaan mereka terlalu banyak hingga tidak sempat membaca kembali UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Dimana tertulis jelas “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Dimana negara, saat 9 orang anak ditolak untuk mendapatkan tempat tinggal yang aman dan layak, hanya karena mereka memiliki virus HIV yang jelas-jelas tidak menular melalui kontak social.

Tim #ODHABerhakSehat, sangat prihatin dan mengutuk keras kejadian yang menimpa anak-anak Rumah Lentera. Melalui komunikasi langsung via telfon dengan pengurus Rumah Lentera, Yunus menyampaikan harapannya kepada pemerintah Republik Indonesia untuk memikirkan nasib warga negaranya. “Kami sangat memohon dukungan dari pemerintah pusat untuk penyediaan rumah atau shelter untuk anak dengan HIV AIDS di wilayah solo”. Ujar Yunus. Kejadian tragis di Kedung Lumbu ini, hanya satu dari banyak cerita yang tidak terkuak karena rasa takut kami orang-orang dengan HIV akan masyarakat yang memberi stigma dan diskriminasi. Karena anak yang hidup dengan HIV juga manusia, mereka berhak untuk tumbuh dan berkembang, mereka berhak mendapatkan pengasuhan dan pendampingan yang layak seperti anak lainnya di Indonesia. (Baca juga: Kartini sama seperti anak lainnya).

Also Read

Tags

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.