Tak Nampak, Namun mematikan

author

“ Ia hidup dalam diam, perlahan berkembang lantas datang ke permukaan dan mengambil banyak hal dari kekuatan penopang raga untuk tetap bertahan dalam kehidupan” (HIV-AIDS)
Mendengar sepenggal kalimat yang keluar dari perbincangan dengan seorang perempuan sekaligus seorang istri yang tengah melawan penyakit tanpa obat. Penyakit yang baru diketahui dua tahun terakhir itu pun setelah sederet penyakit lainnya menghampirinya.

Saya menikah diawal tahun 2010 dengan seseorang yang sudah saya kenal sejak lima tahun terakhir,sejak saya dibangku kuliah. Saya mengenalnya dengan baik, hingga ketika ia dan keluarganya datang melamar, tidak ada alasan bagi saya dan keluarga untuk menolak lamaran tersebut. Kami menikah satu bulan setelah acara lamaran berlangsung. Apakah saya bahagia? Tentu saja saat itu saya bahagia hingga satu tahun pertama.”
Tidak mudah bagi seseorang yang belum sukses menciptakan kebahagiaan didalam rumah tangga untuk berbagi cerita pada orang lain. Menyaksikan ketegaran yang ia bangun juga merangsang semangat hidup yang lebih teruntuk aku, pendengarnya.
“ Di awal pernikahan, hidup kami layaknya pengantin baru lainya. Penuh bahagia, tawa, canda, mesra, dan cinta. Semua masih bertahan ketika memasuki tahun kedua, mulai banyak pertanyaan tentang kapan akan merencanakan memiliki anak? Saya dan suami selalu berusaha dan tidak berencana untuk menunda. Sama seklai tidak. Hingga kami memutuskan untuk memeriksakan diri di sebuah rumah sakit bertaraf internasional, berharap akan mendapatkan hasil yang sangat akurat. Tetapi bukan hasil yang menggembirakan melainkan hasil pemeriksaan yang membuat kehidupan kami seolah terhenti pada hari itu.”
Ketegaran itu mulai redup bersamaan air hangat yang mengalir langsung dari sumbernya, mata. Sebagai pendengar, aku membantu menyekanya seolah menyalurkan kekuatan untuk tetap bertahan.
Di depan saya juga keluarga, suami bersumpah tidak pernah melakukan seks diluar nikah ataupun menggunakan obat terlarang. Hingga hal ini membuatnya tersudut. Saya hanya bisa menangis pun kedua keluarga. Saya ingin memeluknya, tetapi saya juga enggan mendekatinya. Meski saya paham benar bahwa penyakit ini tidak menular melalui sentuhan kulit biasa. Karena penyakit ini hanya bisa menular melalui cairan tubuh seperti sperma, cairan vagina, darah, juga selaput selaput tipis yang berada disekitar mulut itupun jika tengah luka. Saya bertanya- tanya dari mana suami saya mendpatkan penyakit tersebut jika tidak pernah melakukan hal yang tidak- tidak. “
Ia menghela nafas, dalam. Seolah menerawang kejadian yang sudah merenggut kekasih hatinya.
Sampai pada akhirnya, suami saya mengatakan bahwa ia pernah mendapat donor darah dari temannya semasa ia mahasiswa ketika kecelakaan sehingga membutuhkan darah. Setelah dicari tahu, teman yang suami saya maksud sudah lebih dahulu meninggal karena penyakit ini. Hati saya bahagia mendengarnya, tetapi tetap nelangsa. Sejak kejadian itu, suami saya secara khusus mendapat pengobatan anti virus yang diharapkan membantu agar tidak semakin buruk keadannya. Pengobatan yang membuatnya seolah ‘sehat’. “
Belum selesai menghadapi masalah ini, saya harus dihadapi dengan permintaan keluarga saya untuk berpisah dengan suami karena alasan penyakit  HIV AIDS ini. Tentu saja saya menolak dengan keras permintaan yang tidak masuk akal tersebut. Mana bisa saya meninggalkan ia dalam keadaan terbuturk didalam hidupnya. Saya memilih jalan untuk tetap bertahan dengan resiko terburuk sekalipun.  Saya berusaha sekuat mungkin meyakinkan suami bahwa semua akan  baik-baik saja. Begitupun saya dan suami meyakinkan keluarga bahwa kami akan baik-baik saja. “
Seolah ada keyakinan yang terpancar dari sepasang mata yang tak lagi terang.
Saya selalu mendukung suami agar tetap percaya diri dalam pekerjaannya. Saya selalu menemaninya untuk berobat dan memotivasi untuk tetap sehat. Hal ini berlangsung terus menerus hingga pada suatu saat tiba-tiba suami saya mendadak tidak sadarkan diri. Saya terkujut bukan main. Padahal tadi malam kami masih mampu merencanakan untuk berlibur diakhir pekan. Namun pagi memberikan kenyataan yang berbeda. Dibantu supir, saya membawa suami menuju rumah sakit yang selama ini menangani rawat jalan suami saya. “
Mengulang cerita duka seperti merobek kembali luka lama yang sudah mengering. Tetapi ia tetap saja ingin bercerita.
Jujur saja, saya tidak siap jika suami  saya harus pergi dalam waktu dekat. Atau mungkin selamanya saya tidak akan siap. Ketika kami dibangku kuliah, kami juga salah dua orang yang menyebarluaskan informasi tentang penyakit ini. Tentang virus yang menyerang imunitas atau daya tahan tubuh manusia. Virus yang sampai saat ini belum juga ditemukan obat yang bisa menyembuhkannya. Rasanya saya seperti dicekik oleh tangan sendiri. Saya hanya mampu menangis. Mengingat lembaran informasi yang pernah kami bagikan untuk masyarakat tetapi kami lupa untuk memberotahukan pada  diri kami sendiri. Saya dan suami adalah seorang dokter. Dokter yang tidak mampu mengobati diri kami sendiri. Inilah takdir, kami sudah semaksimal mungkin menjaga diri tetapi semua terjadi tanpa permisi. Setelah koma selama empat hari, suami saya resmi meninggalkan saya juga dunianya. Saya sudah tidak lagi bernafas sempurna. Hanya menunggu kapan giliran saya.terdengar pesimis mungkin, tetapi inilah kenyataannya.”
Saya mengingat salah satu pasien saya yang bercerita bahwa ia sedih karena dijauhi oleh orang- orang yang ia sayang ulah penyakit ini. Dan saat itu saya merasakan benar apa yang dirasakan oleh pasien saya terdahulu. Karena setelah kematian suami saya, masyarakat sekitar saya mulai membicarakan saya dan suami. Meski sudah saya jelaskan bahwa penyakit ini tidak menular melalui jabat tangan, pegangan tangan, sentuhan, batuk, atau bahkan berciuman. Kecuali pada daerah yang tersentuh terdapat luka sehingga darah atau cairan terserap didalamnya. Itupun hanya kemungkina kecil. Meskipun sudah begitu, tetap saja saya dipandang sebagai ‘kuman’ berjalan yang harus dihindari. Sehingga saya memutuskan untuk pindah rumah dan hidup sendiri sebelum akhirnya saya berada disini.”
Jika saya boleh berpesan untuk siapapun yang nanti membaca tulisan kamu, pesan saya adalah lebih berhati- hati pada sesuatu yang tidak nampak, yang diam. Karena itu lebih berbahaya. Jaga diri dari banyak hal. Dan jangan pernah mengucilkan orang-orang ‘beruntung’ seperti kami. Karena jika berada diposisi ini, teramat tidak menyenangkan. Karena saat saat seperti ini kami hanya membutuhkan kasih sayang juga dukungan meski mungkin keberadaan kami hanya tinggal menghitung waktu. Saya senang, ada anak muda seperti kamu yang mau menjadi pendengar untuk saya. Apalagi jika kamu mau berbagi cerita dengan banyak orang tentang kesalahpahaman terhadap kami juga penyakit ini. HIV AIDS itu seperti api yang berawal dari satu percikan lantas membakar hutan yang besar. Penyakit ini tidak mengenal gender, status sosial, bahkan siapa Tuhannya. Penyakit ini juga bisa menyerang bayi mungil tanpa dosa. Hmm,jika masih ada waktu yang tersisa, saya ingin sekali menulis buku tentang apa dan  bagaimana penyakit ini bisa dicegah. Karena itu yang terpenting. Mencegahnya!”
Kami bertukar senyum. Menjabat tangannya seolah menyalurkan kekuatan yang dimiliki,sambil berdoa semoga Tuhan berbaik hati memberikan kelegaan untuknya, seorang perempuan dengan segenap cinta untuk banyak orang yang senasib.
Dalam proses pengobatan, perempuan berusia 32 tahun ini masih berkeliling menyuarakan suara hati ODHA agar tetap diperlakukan sebagaimana mestinya, karena mereka jugaberhak mendapat hidup yang sama.
Tulisan ini di Repost dari @feandfeny www.nyawaketiga.blogspot.com

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.